Jakarta, CNN Indonesia -- Keputusan
Bank Indonesia (BI) menaikkan tingkat suku bunga acuan
7 Days Reverse Repo Rate (7DRRR) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6 persen rupanya cukup mengejutkan kalangan perbankan. Kenaikan bunga kali ini di luar ekspektasi mereka.
Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk atau BCA Jahja Setiaatmadja semula memperkirakan bank sentral nasional akan kembali menahan tingkat bunga acuannya dan baru mengereknya pada bulan depan sejalan dengan rencana bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve.
"Kaget juga, tapi kalau ini tujuannya untuk memperkuat rupiah, maka tindakan
a head the curve ini harus dipandang optimis akan baik," ucap Jahja kepada
CNNIndonesia.com, Kamis (15/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Senada, Direktur Keuangan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN Iman Nugroho Soeko juga menilai hal ini sebagai langkah yang di luar perhitungan kalangan bankir. "Tidak sesuai ekspektasi," ungkapnya singkat.
Begitu pula dengan Direktur Utama PT Bank Mayapada Internasional Tbk Hariyono Tjahjarijadi, meski ia berharap keputusan ini sudah dipertimbangkan secara matang oleh BI. "Mungkin BI sudah tahu, maka diantisipasi lebih dulu," ujarnya.
Tak hanya bankir, kalangan ekonom juga demikian. Ekonom Centers of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam bahkan menyayangkan keputusan BI. Menurutnya, BI terlalu agresif dalam mengatur tingkat bunga acuannya dan hal ini bisa memberi risiko pada sektor keuangan dalam negeri.
"Saya tidak yakin kebijakan ini akan ditanggapi positif oleh pasar. Khawatirnya, kenaikan bunga yang terlalu dini, hanya akan mengurangi ruang bagi BI untuk menggunakan suku bunga di saat kenaikan itu benar-benar dibutuhkan," tuturnya.
Pasalnya, kenaikan bunga acuan BI saat ini tentu akan langsung direspons oleh pasar. Padahal, pasar seharusnya dibuat lebih dulu merespons kenaikan bunga acuan The Fed pada Desember mendatang. Baru setelah itu, BI turut mengerek bunga untuk menenangkan pasar.
"Apabila respons pasar cukup besar (terhadap kenaikan bunga BI saat ini), maka BI harus me-respons ulang dengan menaikkan bunga acuan kembali. Bila skenario ini terjadi, justru BI
behind the curve," jelasnya.
Meski begitu, Gubernur BI Perry Warjiyo mengklaim kebijakannya ini justru tepat karena mengantisipasi rencana kenaikan bunga acuan di pasar global, khususnya dari The Fed.
"Kenaikan suku bunga juga untuk memperkuat daya tarik pasar keuangan domestik dengan mengantisipasi kenaikan suku bunga global beberapa bulan ke depan," katanya.
Tujuannya, agar aliran modal asing tetap mengalir ke Indonesia, sehingga membuat likuiditas valuta asing (valas) di dalam negeri tercukupi dan bisa menguatkan nilai tukar rupiah. Bersamaan dengan itu, diharapkan defisit transaksi berjalan
(Current Account Deficit/CAD) bisa turun ke kisaran di bawah 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir tahun ini.
Lalu, kembali turun ke kisaran 2,5 persen dari PDB pada tahun depan. Di saat yang sama menurut dia, BI mengaku akan terus berkoordinasi dengan pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menjaga stabilitas sektor keuangan, rupiah, hingga perekonomian Tanah Air.
(uli/agi)