Jakarta, CNN Indonesia --
Bank Indonesia (BI) melonggarkan lagi batas pencadangan
kas berdenominasi rupiah bagi bank umum konvensional dan syariah yang disimpan di bank sentral nasional atau dikenal dengan istilah
Giro Wajib Minimum (GWM), baik secara tetap (
fix) maupun rata-rata (
averaging).
Berdasarkan kebijakan GWM saat ini, bank perlu menyetor sekitar 6,5 persen dari Dana Pihak Ketiga (DPK) yang dimiliki ke BI. Setoran itu terbagi atas simpanan
fix sebesar 4,5 persen dan
averaging setiap dua minggu sebesar 2 persen. Namun, aturan itu kini diubah BI menjadi simpanan
fix sebesar 3,5 persen dan
averaging 3 persen.
Selain melonggarkan GWM, BI juga mengubah ketentuan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) bagi bank umum konvensional dan syariah. Sebelumnya, rasio PLM bank ditetapkan sebesar 4 persen dari DPK dengan 2 persen diantaranya bisa menjadi jaminan (
underlying) bank untuk melakukan repo kepada BI.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jaminan yang digunakan berupa Surat Berharga Negara (SBN), Surat Berharga Bank Indonesia (SBI), dan surat berharga lainnya. Namun, BI mengubah ketentuan tersebut menjadi 4 persen. Artinya, seluruh PLM yang dimiliki bank bisa direpokan ke bank sentral nasional.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan kebijakan ini diambil karena bank sentral nasional ingin menambahkan tingkat fleksibelitas dan distribusi likuiditas yang ada di bank. Langkah tersebut ditempuh agar bank kian leluasa dalam mengelola likuiditas yang mereka miliki untuk memenuhi aturan BI sekaligus menjalankan roda bisnis.
Perry membantah kebijakan tersebut diambil bukan karena BI mengkhawatirkan kondisi likuiditas perbankan yang mulai mengetat. Meski, rasio pinjaman terhadap simpanan (
Loan to Deposit Ratio/LDR) perbankan telah menembus kisaran 94 persen dan DPK tumbuh kian melambat ke kisaran 6,6 persen pada September 2018.
Perry masih meyakinkan kondisi likuiditas bank saat ini masih cukup. Hal tersebut tercermin dari rasio kecukupan modal (
Capital Adequacy Ratio/CAR) bank yang per September 2018 masih sekitar 22,9 persen dan Alat Likuid/DPK (AL/DPK) sekitar 19,2 persen.
"Kebijakan GWM dan PLM jangan disalahartikan. Itu untuk meningkatkan fleksibelitas dan distribusi likuiditas, bukan menambahkan likuiditas," ucap Perry di Kompleks Gedung BI, Kamis (15/11).
 Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono |
Tak hanya mengubah dua ketentuan itu, BI turut mempertahankan
rasio Countercyclical Capital Buffer (CCB) sebesar 0 persen dan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) pada target kisaran 80-92 persen.
Direktur Utama PT Bank Mayapada Internasional Tbk Hariyono Tjahjarijadi menyambut baik kebijakan BI tersebut. Menurutnya, kebijakan ini tentu sudah disesuaikan dengan kondisi likuiditas bank yang belakangan ini cenderung mengetat karena deposito bank bersaing dengan instrumen investasi lain.
"Semua bauran kebijakan yang diambil BI tentu selalu untuk kepentingan perbankan dan stabilitas keuangan nasional," ujarnya kepada
CNNIndonesia.com.
Namun, ia belum bisa memastikan seberapa efektif dampak dari kebijakan tersebut kepada bank. Menurutnya, kebijakan tersebut masih harus dilihat sejalan dengan perkembangan kondisi likuiditas bank ke depan.
Hanya saja, ia menyebut memang perlu pula kecakapan dari masing-masing bank untuk menyeimbangkan pengelolaan dan penyaluran dana yang dimiliki.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai kebijakan dari bank sentral nasional ini tak akan berdampak banyak pada likuiditas perbankan.
Sebab, kondisi likuiditas sejatinya lebih ditentukan oleh perkembangan pasar dan persaingan antar bank. "Saat ini bank saling menjaga likuiditas masing-masing, ini perilaku yang normal, tapi tidak bisa diatasi lewat GWM," pungkasnya.
Siasat Bank
Sebagai antisipasi kondisi likuiditas yang ketat, sejumlah bank mengaku bakal menerbitkan surat utang untuk menutupi kebutuhan pendanaannya.
"Karena memang LDR semua bank rata-rata sudah capai 90 persen, ini kan memang tantangan kami dua sampai tiga tahun ke depan untuk menyeimbangkan pertumbuhan kredit dengan DPK," ujar Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk Kartika Wirjoatmodjo, Kamis (15/11).
Ia menyebut pertumbuhan kredit beberapa waktu terakhir terbilang tinggi. Bank Mandiri sendiri mencatatkan penyaluran kredit perusahaan per kuartal III 2018 tumbuh 13,8 persen menjadi Rp781,1 triliun dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Sementara, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat pertumbuhan kredit sampai Oktober 2018 sebesar 12,9 persen secara tahunan.
Tiko pun optimistis pertumbuhan kredit tahun depan bisa sejalan dengan target OJK. Hanya saja, untuk sampai akhir tahun ini, ia memperkirakan pertumbuhannya sedikit melambat karena keterbatasan likuiditas.
Mengantisipasi kondisi ini, Bank Mandiri bakal menerbitkan obligasi tahun depan. Menurut Tiko, aksi korporasi itu kerap dilakukan tiap tahun. Hanya saja, ia belum bisa menyebut secara pasti jumlah obligasi yang akan dirilis tahun depan. "Jumlahnya saya belum tahu, nanti ya," tutur Tiko.
Senada, Direktur Utama PT Bank Victoria Internasional Tbk (BVIC) Ahmad Fajar mengatakan pihaknya juga berencana menerbitkan obligasi subordinasi dan negoitable certificate of deposit (NCD). Namun, ia juga belum bisa memastikan berapa jumlah yang akan ditawarkan kepada investor.
"Obligasinya kelanjutan, karena otomatis kami harus jaga dana jangka panjang. Strateginya adalah kan kredit rata-rata jangka panjang, jadi matching. Mengurangi missmatch," kata Ahmad.
Kendati begitu, Ahmad mengaku tingkat likuiditas di Bank Victoria Internasional sendiri sebenarnya terbilang masih aman karena berada di kisaran 73-75 persen. Namun, manajemen sengaja melakukan antisipasi mencari dana di luar DPK.
Kemudian, Direktur PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk Anika Faisal juga mengamini bahwa perbankan harus mencari pendanaan eksternal untuk tetap memenuhi pengajuan kredit nasabahnya. Artinya, perbankan memang tak bisa semata-mata menggunakan DPK.
"Pinjaman ke pihak ketiga itu selalu ada, mungkin obligasi atau alternatif lain untuk pendanaan," ujar Anika.
(uli/aud/agt)