ANALISIS

'Bendera Putih' dari Pengusaha Atas Kenaikan Bunga Acuan BI

ulf | CNN Indonesia
Jumat, 16 Nov 2018 14:06 WIB
Pelaku usaha mengaku kelimpungan dengan kenaikan bunga acuan BI pada November 2018. Mereka berharap kebijakan moneter ketat cukup sampai disini.
Ilustrasi penjualan ritel. (CNN Indonesia/Hesti Rika Pratiwi).
Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) kembali mengerek bunga acuan (7 Days Reverse Repo Rate/7DRRR) sebesar 25 basis poin menjadi 6 persen pada November 2018. Kenaikan ini merupakan keenam kalinya dengan total kenaikan 175 bps.

Kebijakan moneter ketat diambil di era kepemimpinan Gubernur BI Perry Warjiyo. Langkah agresif ini ditempuh bukan tanpa alasan, sejalan dengan upaya pemerintah menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Namun, rupanya ada yang terseok-seok karena upaya BI menstabilkan nilai tukar dengan mengerek bunga acuan tersebut. Pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), misalnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seperti diungkapkan Ketua Umum Apindo Haryadi Sukamdani, kenaikan bunga acuan yang agresif membuat pelaku usaha kelimpungan. "Sudah cukup di level ini saja. Kami berharap, jangan sampai naik lagi," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Jumat (16/11).


Toh
, nilai tukar rupiah menunjukkan tren penguatan terhadap dolar AS. Pagi ini, bahkan rupiah paling mengilap di antara mata uang negara-negara Asia lainnya di level Rp14.590 per dolar AS atau menguat 75 poin (0,51 persen) dibanding kemarin sore.

Pasalnya, Haryadi melanjutkan ada tambahan biaya yang ditanggung pelaku usaha dari kenaikan bunga pinjaman sebagai akibat dampak penyesuaian bunga acuan. Maklumlah, pinjaman perbankan masih mendominasi sumber pendanaan para pelaku usaha.

Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman bilang sekitar 70 persen dari total pendanaan pengusaha berasal dari pinjaman bank, hanya 30 persen sisanya berasal dari kantong perusahaan.

Dengan kondisi tersebut, sambung dia, pelaku usaha tidak bisa sembarangan melakukan penyesuaian harga jual ke konsumen. "Karena melihat daya beli. Kami akan lihat di awal Januari seperti apa," katanya.

'Bendera Putih' dari Pengusaha Atas Kenaikan Bunga Acuan BIIlustrasi daya beli masyarakat. (CNN Indonesia/Hesti Rika Pratiwi).

Sebab, Adhi menilai upaya pemerintah merangsang daya beli masyarakat belum ampuh, terutama di kalangan ekonomi menengah ke bawah. Makanya, kalau pun terjadi kenaikan harga, maksimal yang bisa dipatok hanya 5 persen.

"Lebih dari hitungan itu, kami bisa kehilangan konsumen. Kalau saya melihat kelas bawah ini, memang semakin terlihat daya belinya semakin rendah," imbuh dia.

Ancam Ekonomi

Sebetulnya, ekonom Indef Bhima Yudhistira menilai dampak kenaikan bunga acuan BI terhadap daya beli masyarakat sudah tampak. Tengoklah, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal ketiga tahun ini cuma 5,01 persen atau melambat dibanding periode sebelumnya, yaitu 5,14 persen.

Hal itu disinyalir karena masyarakat cenderung menahan, bahkan mengurangi konsumsi. Padahal, konsumsi rumah tangga berkontribusi sekitar 56 persen atau separuh dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.


"Makanya, konsumsi rumah tangga sulit untuk tembus di atas 5,2 persen. Efeknya nanti, sesuai prediksi IMF bahwa pertumbuhan ekonomi kita pada 2018 dan dan 2019 hanya mampu tumbuh 5,1 persen. Saya kira ini implikasi logis kenaikan suku bunga acuan," terang Bhima.

Pendapat senada juga disampaikan ekonom BCA David Sumual. Menurut dia, banyak faktor ekonomi nasional akan bertengger di posisi 5,1 persen. Salah satunya, defisit transaksi berjalan yang masih lebar, yaitu US$8,8 miliar atau setara 3,37 persen terhadap PDB kuartal III.

Faktor lain, Indonesia masih dibayangi oleh ketidakpastian ekonomi global. "Jadi ekonomi tumbuh 5 persen saja sudah bagus. Untuk tahun ini masih bisa 5,1 persen," jelasnya.

Untuk mengurangi tekanan daya beli ke ekonomi, David menyarankan pemerintah untuk bekerja ekstra keras mendorong ekspor dan investasi. Saat ini, keduanya boleh dibilang masih melempem.


Lihat saja, ekspor per Oktober 2018 cuma meningkat 5,87 persen, yaitu dari US$15,25 miliar pada bulan sebelumnya menjadi US$15,8 miliar. Kinerja ekspor ini kalah jauh dari aktivitas impor yang meroket 20,6 persen menjadi US$17,62 miliar pada Oktober 2018.

Sementara, investasi melorot 1,6 persen pada kuartal ketiga menjadi Rp173,8 triliun jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

"Ada ketergantungan yang tinggi pada ekspor komoditas sehingga kita harus mencari sumber ekspor yang lain. Selain itu reformasi struktural harus didorong. Ada revisi DNI (Daftar Negatif Investasi) dan lain-lain, kita buat supaya investasi di sektor riil semakin menarik," tutur David. (bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER