Jakarta, CNN Indonesia -- Korea Internet & Security Agency (KISA) menyebut iklim perusahaan rintisan
(start up) sektor layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi
(fintech peer to peer/P2P lending) di Korea Selatan berbeda dengan Indonesia. Korea saat ini mengenakan batas maksimal bunga pinjaman
fintech sebesar 24 persen.
KISA adalah lembaga di bawah Kementerian Informasi dan Teknologi yang bertugas mendorong daya saing perusahaan-perusahan berbasis internet di Negeri Gingseng tersebut.
Kim Jin Man, Convergence Service Support Team Manager dari KISA mengatakan pemerintah Korea Selatan menerapkan aturan batasan suku bunga untuk seluruh lembaga jasa keuangan, termasuk
fintech P2P lending sebesar 24 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Walaupun diberi batasan sampai 24 persen tapi jarang yang (yang memberikan bunga pinjaman) sampai 24 persen karena kan banyak kompetitor di bisnis ini," ucap Kim, Senin (26/11).
Ia menuturkan tak banyak masyarakat Korea Selatan yang menggunakan perusahaan
fintech P2P lending untuk mendapatkan pinjaman dana, karena mayoritas masyarakatnya terbilang memenuhi persayaratan perbankan untuk meminjam dana (
bankable).
"Kalau di Korea Selatan itu banyak umur 18 tahun sudah ada akun sendiri di bank, jadi berbeda dengan Indonesia, kalau di Korea Selatan fintech P2P lending itu tidak terlalu banyak dipakai orang," jelas Kim.
Selain itu, pemerintah Korea Selatan juga memiliki aturan batasan dana yang bisa dikucurkan
fintech P2P lending dalam meminjam dana kepada nasabahnya. Kondisi ini membuat tak banyak perusahaan fintech yang mengalami kredit macet.
"Ya hanya satu sampai dua, bukan masalah mayoritas. Hanya beberapa perusahaan," imbuh Kim.
Kim juga menerangkan tak ada perusahaan
fintech P2P lending yang menagih nasabahnya dengan cara kekerasan. Ini lantaran pemerintah Korea Selatan menjaga ketat proses penagihan tersebut.
"Intinya sampai sekarang tidak ada masalah besar, organisasi sama pemerintah bekerja keras untuk itu," tegas Kim.
Kondisi ini bisa dibilang berbanding terbalik dengan Indonesia. Untuk mengingatkan saja, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendapat 200 aduan masyarakat yang menjadi nasabah
fintech P2P lending sampai pertengahan bulan ini.
Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI aduan itu kebanyakan berbentuk teror dari perusahaan
fintech karena telat membayar utang dan bunga pinjaman yang mencekik. Salah satu bentuk teror yang dilakukan perusahaan
fintech P2P lending berupa penyebaran foto pribadi nasabah ke beberapa pihak.
"Pengaduan yang saya terima mereka bisa menyadap data termasuk foto, dalam salah satu aduan nasabah perempuan disebar dengan berbaju minim, itu kan tekanan," ungkap Tulus.
(aud/agi)