Jakarta, CNN Indonesia -- 'Wajah' pemerintah semringah merespons inflasi sepanjang 2018 yang tercatat di angka 3,13 persen, atau lebih rendah dari target pemerintah sebesar 3,5 persen. Ukuran mekanisme peningkatan harga barang itu bahkan lebih kecil dibanding capaian 2017 yang mencapai 3,61 persen.
Badan Pusat Statistik melaporkan inflasi bulan Desember 2018 mencapai 0,62 persen. Menurut dia, inflasi kali ini memang lebih stabil, meski komponen beras, Bahan Bakar Minyak (BBM) non-subsidi, hingga biaya transportasi menyebabkan inflasi sulit melandai sepanjang 2018.
"Penyebab inflasi 2018 secara umum karena (kenaikan harga) bensin, beras, rokok keretek filter. Berbeda dengan 2017 yang didorong kenaikan tarif listrik, biaya perpanjangan STNK, dan ikan segar," papar Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers, Rabu (2/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pola kendali inflasi saat ini membuat pemerintah berada di atas angin. Terlebih, pemerintah hanya menghasilkan defisit anggaran 2018 sebesar 1,72 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Meroketnya penerimaan negara membuat defisit lebih rendah dari target yang dipatok 2,19 persen.
Presiden Joko Widodo pernah berujar, inflasi merupakan komponen penting sebagai hembusan angin segar bagi investor untuk terus berinvestasi di Indonesia. Menurut dia, komponen inflasi tidak kalah penting dengan indikator makroekonomi lain, seperti pertumbuhan ekonomi.
"Hal yang penting bukan hanya pertumbuhan ekonomi, tapi juga inflasi. Inflasi dipastikan lebih rendah dibanding tahun lalu, ini sebuah angka yang menunjukkan pengendalian harga di pasar," jelas Jokowi, beberapa waktu lalu.
Meski inflasi terkendali, pemerintah tetap tak boleh tinggi hati. Sebab, ancaman kenaikan harga-harga barang secara umum masih akan terjadi tahun ini. Salah kebijakan malah akan membuat inflasi menjulang.
Pendapat itu diungkapkan Direktur Riset Center of Reform On Economics (CORE) Mohammad Faisal. Menurut dia, tahun ini masih ada potensi inflasi melebar dari realisasi tahun lalu.
Saat ini, harga minyak dunia memang tengah merosot. Terbukti, harga minyak mentah jenis Brent sepanjang pekan lalu turun 3 persen menjadi US$52,2 per barel.
Hanya saja, harga minyak masih bisa meningkat ke angka US$70 per barel hingga US$80 per barel. Hal itu dipicu potensi pembatasan produksi yang dilakukan negara-negara juragan minyak yang tergabung dalam
Organization of Petroleum Exporting Countires (OPEC) selama enam bulan ke depan.
Kenaikan harga minyak dunia tentu akan mempengaruhi kenaikan harga BBM nonsubsidi. Inflasi sangat sensitif dengan kenaikan harga BBM nonsubsidi.
Berkaca pada Februari silam, BPS menunjukkan Indeks Harga Konsumen (IHK) untuk kelompok transportasi, jasa keuangan, dan komunikasi meningkat 0,28 persen gara-gara kenaikan harga BBM non-subsidi. Ini menjadi salah satu biang keladi utama inflasi Februari 2018 yang mencapai 0,99 persen.
Tren itu pun kembali pada Oktober silam, di mana kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar mencatat inflasi bulanan sebesar 0,42 persen dan berkontribusi terhadap inflasi sebesar 1 persen.
Secara tahunan, inflasi energi memberi andil inflasi 0,27 persen terhadap inflasi sebesar 3,13 persen.
Harga Minyak dan Rupiah Biang Keladi Inflasi 4 PersenJika pengaruh harga minyak tak bisa diredam, ia memprediksi inflasi bahkan bisa menembus angka 4 persen tahun ini. "Risiko paling tinggi untuk inflasi tahun ini adalah harga minyak dunia," jelas dia.
Harga minyak yang kian melonjak tentu akan bikin pemerintah pikir-pikir ulang untuk menaikkan harga BBM penugasan seperti Premium dan Solar. Ia memperkirakan pemerintah akan menaikkan harga BBM penugasan, namun baru akan terjadi setelah masa-masa pemilihan umum rampung pada April 2019 nanti.
 Ilustrasi kilang minyak. (ANTARA FOTO/Idhad Zakaria). |
"BBM penugasan mungkin akan dinaikkan setelah pemilu, sekitar semester II. Bahkan tak menutup kemungkinan tarif listrik non-subsidi juga akan disesuaikan setelah pemilu," lanjut dia.
Khusus imported inflation, ia memproyeksi tak akan berdampak besar lantara pertumbuhan ekonomi global yang melesu. Sinyal itu diperoleh dari laporan International Monetary Fund (IMF) yang merevisi pertumbuhan ekonomi global 2019 dari 3,9 persen menjadi 3,7 persen.
"Jadi semakin lemah pertumbuhan ekonomi, demand menurun, dan kemampuan produksi menurun. Ini mungkin akan berdampak ke impor, sehingga imported inflation bisa ditekan," papar dia.
Setali tiga uang, Wakil Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan inflasi tahun ini diprediksi bisa lebih besar ketimbang tahun lalu.
Namun, komponen harga minyak tak hanya menjadi biang kerok. Tidak stabilnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dipandang juga bisa menjadi ancaman.
Pasalnya, penurunan volume impor bisa berbuah inflasi jika kurs tidak bisa dikendalikan dengan stabil. Terlebih, kurs rupiah tahun ini masih akan dibayangi kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS), Fed Fund Rate (FFR) serta kelanjutan dari perang dagang antara AS dan China.
"Ibaratnya AS dan China gencatan senjata dalam beberapa bulan ke depan. Namun kalau gencatan senjata ini nanti selesai, kita tidak tahu hasilnya seperti apa. Ketidakjelasan (uncertainty) seperti inilah yang membayangi kurs, dan mungkin bisa berdampak ke imported inflation," jelas dia.
Indonesia memang masih akan mengalami banyak tantangan inflasi tahun ini. Namun, bukan berarti pemerintah tak bisa mengubah keadaan.
Eko bilang, pengendalian inflasi tahun ini harus diantisipasi dengan kebijakan yang tepat. Pemerintah diminta untuk tidak mengulangi kebijakan yang dilakukannya tahun kemarin, yakni terlalu gegabah mengimpor beras 2 juta ton demi mengendalikan harga beras di pasaran.
Hasilnya, harga beras tak kunjung turun sampai hari ini. Bahkan, data BPS menunjukkan harga beras jenis medium naik Rp200 per kilogram (kg) sepanjang bulan lalu.
Tak berhenti sampai beras, perencanaan dan pendataan suplai produk pertanian yang tidak baik juga melanda harga jagung. Semakin tinggi harga jagung, maka pakan ternak akan semakin mahal. Ini tentu mempengaruhi harga telur ayam serta daging ayam di pasaran.
Menurut dia, pemutakhiran data beras yang dilakukan BPS beberapa waktu lalu bisa membuka jalan bagi pengendalian inflasi di volatile food. Sebab, pendataan yang jelas tentu akan menghasilkan kebijakan yang juga mumpuni. Namun, ia berharap, pendataan ini juga bisa diterapkan di beberapa komoditas pangan lainnya.
"Sebetulnya domain pemerintah itu cukup besar untuk mengendalikan inflasi. Hanya saja tinggal bagaimana kebijakan yang diambil itu bisa terukur," pungkas Eko.
(lav/bir)