Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan
Sri Mulyani Indrawati lagi-lagi mendapat penghargaan sebagai menteri terbaik. Setelah mendapat penghargaan sebagai menteri terbaik dunia versi
World Government Summit tahun lalu, Sri Mulyani kali ini dinobatkan sebagai
menteri keuangan terbaik versi majalah
The Banker.The Banker antara lain memuji kebijakan Sri Mulyani terkait perpajakan dan defisit anggaran pemerintah yang lebih kecil dari target.
Meski demikian, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai rasio pajak Indonesia yang masih berada dikisaran 11 persen saat ini sebenarnya masih rendah dibanding negara-negara tetangga. Singapura, misalnya, memiliki rasio pajak sebesar 14 persen, Malaysia sebesar 15,5 persen dan Thailand sebesar 17 persen.
"(Pekerjaan rumahnya) adalah menaikkan tax ratio sampai di atas 12 persen dan perluas basis pajak, jangan sampai berburu di kebun binatang," jelas Bhima kepada
CNNIndonesia.com, Kamis (3/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Bhima, rendahnya rasio pajak menyebabkan penerimaan pajak selalu berada di bawah target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), atau biasa disebut shortfall. Shortfall merupakan penyakit menahun fiskal dalam 10 tahun terakhir.
Pada 2018, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp1.315,9 triliun atau hanya 92,4 persen dari targetnya Rp1.424 triliun. Realisasi ini sudah terbilang tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Hal ini tentu miris mengingat penerimaan pajak sangat penting untuk membayar utang pemerintah, di mana angka outsatnding-nya sudah mencapai Rp4.400 triliun hingga akhir tahun lalu. Penerimaan pajak seolah-olah masih kontras dengan realisasi penerimaan negara yang lebih besar 2,5 persen dari target APBN tahun lalu.
"Penerimaan negara 100 persen tercapai di 2018 karena harga minyak naik dan rupiah melemah. Tapi penerimaan pajak saja yang masih mengalami shortfall," terang dia.
Tak hanya soal pajak, Bhima juga mengkritisi realisasi defisit APBN tahun lalu sebesar 1,78 persen dari PDB yang berada di bawah target 2,19 persen dari PDB. Defisit yang rendah ini diapresiasi publik internasional.
Namun, Bhima menilai defisit APBN ini terbilang semu karena pemerintah membebani penugasan yang seharusnya diemban APBN kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Sebagai contoh, keputusan pemerintah untuk tidak menambah subsidi listrik di tengah kenaikan harga minyak dunia bikin kinerja keuangan PT PLN (Persero) menurun. Hingga kuartal III 2018, PLN sudah membukukan rugi Rp18,46 triliun gara-gara beban operasionalnya membengkak.
"Defisit APBN diklaim terendah sejak 2012, tapi belanja subsidi energi sebagian dibebankan ke Pertamina dan PLN dalam bentuk penugasan. Sehatnya APBN terbilang semu karena di sisi lain keuangan BUMN yang diberi penugasan mengalami
distress," pungkas dia.
Sebelumnya, Sri Mulyani menerima predikat menteri keuangan terbaik dunia dari
The Banker, sebuah publikasi mingguan yang juga anggota grup
Financial Times Ltd. Ada beberapa alasan yang mendasari pemilihan Sri Mulyani sebagai menteri keuangan terbaik di dunia.
Pertama, Sri Mulyani dipandang mampu membawa defisit APBN 2018 di bawah targetnya yakni 2,19 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Realisasi defisit APBN sendiri tercatat 1,78 persen dari PDB sepanjang tahun lalu.
Kedua, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini dianggap berkomitmen mereformasi sistem perpajakan dengan harapan meningkatkan pertumbuhan kepatuhan pajak menjadi 82,5 persen di tahun depan. Beberapa langkah yang dilakukan antara lain adalah memangkas Pajak Penghasilan (PPh) bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah dari 1 persen menjadi 0,5 persen dan pajak digital hanya dibebankan bagi perusahaan perdagangan daring
(e-commerce) yang berasal dari luar negeri.
Ketiga, Sri Mulyani juga dianggap memiliki ambisi untuk menjadikan Indonesia sebagai basis ekspor Asia. Untuk itu, kebijakan seperti pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi pelaku ekspor diapresiasi oleh The Banker.
"Perubahan di sistem perpajakan ini integral dengan keinginan Kementerian Keuangan untuk meningkatkan penerimaan negara sebanyak 12,9 persen menjadi US$146,5 miliar di 2019," tutup
The Banker. (glh/agi)