Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi perusahaan rintisan (
startup) bidang
e-commerce dan teknologi finansial (
fintech) mengaku belum mendapat sosialisasi terkait aturan layanan urun dana melalui penawaran saham berbasis teknologi informasi (
equity crowdfunding), meski beleid sudah terbit akhir 2018 lalu.
Diketahui, Otoritas Jasa Keuagan (
OJK) baru saja menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 37/POJK.04/2018 tentang
Equity Crowdfunding. Skema pengumpulan modal ini mirip dengan penawaran umum perdana saham (
Initial Public Offering/IPO).
Ketua Umum Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung menilai skema urunan dana pembelian saham ini bisa menjadi alternatif sumber pendanaan bagi pelaku
e-commerce yang baru membangun bisnisnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"
E-commerce juga akan bertumbuh jumlahnya tahun ini, jadi itu opsi positif," terang Untung kepada
CNNIndonesia.com.
Kendati demikian, Untung mengaku pihaknya belum mendapatkan sosialisasi langsung dari OJK, sehingga ia belum mengetahui secara rinci skema
equity crowdfunding.
"Skema itu bisa digunakan untuk
e-commerce untuk nambah modal ya, tapi sampai sekarang saya belum dengar ada yang mau ajukan ke OJK," tutur Untung.
Senada, Ketua Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Adrian Gunadi mengatakan pihaknya masih menunggu sosialisasi dari OJK mengenai aturan tersebut. Namun, ia mengetahui informasi bahwa khusus untuk layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (
Peer to Peer Lending), skema
equity crowdfunding tidak bisa digunakan untuk menyalurkan kredit kepada nasabah.
"Mungkin tapi bisa sebagai alternatif untuk permodalan perusahaan
fintech," ungkap Adrian.
Untuk dana jangka panjang, kata Adrian, skema ini bisa dimanfaatkan untuk menambah permodalan perusahaan sehingga skala bisnis berpotensi meningkat.
Sampai saat ini, ia mengaku belum ada wacana yang dilontarkan oleh para untuk mengambil pendanaan melalui skema
equity crowdfunding dalam waktu dekat.
"Tapi (potensi) mungkin ada dari beberapa pelaku
fintech," jelas Adrian.
Deputi Pengawas Pasar Modal II OJK Fakhri Hilmi mengungkapkan belum ada perusahaan rintisan yang mengajukan izin ke OJK untuk mendapatkan permodalan dari
equity crowdfunding.
"Peraturan baru saja terbit. Semoga ada yang mendaftar tahun ini. Amin," ujar Fachri.
Skema
equity crowdfunding ini bisa dibilang mirip dengan skema IPO. Bedanya, investor yang menanamkan dana di startup melalui skema
equity crowdfunding tak tercatat sebagai investor pasar saham dan perusahaan itu juga tidak tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Perusahaan yang menggunakan skema penambahan modal tak akan memasarkan sahamnya sendiri, melainkan melalui penyelenggara layanan urunan dana. Sebelumnya, pihak penyelenggara perlu mengajukan izin terlebih dahulu kepada OJK.
Penyelenggara ini harus berbentuk perusahaan terbatas (PT) atau koperasi dengan modal disetor paling sedikit Rp2,5 miliar pada saat mengajukan permohonan izin.
Kemudian, untuk penawaran saham oleh setiap perusahaan yang membutuhkan modal atau disebut penerbit tak boleh menghimpun dana lebih dari Rp10 miliar. Penawaran saham juga hanya bisa dilakukan kurang dari 12 bulan.
Selain itu, jumlah modal yang dimiliki penerbit juga diatur ketat oleh OJK, yakni maksimal Rp30 miliar dan jumlah pemegang saham kurang dari 300 pihak.
Tak lupa, OJK mewajibkan seluruh pihak yang terkait dalam
equity crowdfunding melakukan mitigasi risiko. Contohnya, penyelenggara wajib menerapkan prinsip perlindungan pengguna, yakni transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, dan keamanan data.
Lalu, penyelenggara juga harus memeriksa secara akurat calon perusahaan yang akan mengikuti fasilitas pencarian dana menggunakan equity crowdfunding.
(aud/lav)