Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (
BI) menilai tingkat bunga pinjaman atau
deposito yang dipasang masing-masing perbankan nasional saat ini masih wajar. Meski, mereka sudah mencium ada aroma perang bunga deposito di industri perbankan lantaran mengetatnya
likuiditas.
Gubernur BI Perry Warjiyo tidak ingin membenarkan anggapan ini, meski tak pula membantah. Ia hanya menekan bahwa yang terjadi saat ini bank cenderung mengerek bunga deposito lebih cepat dan tinggi ketimbang bunga kredit.
Namun, hal ini masih terbilang wajar karena bunga deposito memang dianggap sebagai indikator yang paling mudah terpengaruh begitu bank sentral nasional mengubah tingkat bunga acuannya (
7 Days Reverse Repo Rate/7DRRR).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tahun lalu, BI menaikkan tingkat bunga acuannya sebanyak enam kali mencapai 175 basis poin (bps) dari semula 4,25 persen menjadi 6 persen. Sementara data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat kenaikan bunga deposito bank mencapai 88 bps untuk simpanan berdenominasi rupiah dan 66 bps untuk valuta asing (valas) sepanjang tahun lalu.
"Kenapa demikian? Karena memang
funding (penghimpunan dana) dari perbankan itu kan ritel, makanya kalau suku bunga BI naik, suku bunga pasar uang naik,
ritel funding bank harus naik," ujarnya di Kompleks Gedung BI, Jumat (18/1).
Lebih lanjut, Perry menilai kenaikan bunga deposito juga terjadi karena sumber penghimpunan dana bank di luar simpanan masyarakat ikut menjadi mahal. Misalnya, di pasar modal dan surat utang. Hal ini tak lepas dari pengaruh kebijakan normalisasi moneter bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve.
Pasalnya, kenaikan bunga acuan The Fed sukses membuat aliran modal asing ke negara berkembang, termasuk Indonesia jadi seret. "Aliran modal asing bukannya masuk, malah keluar. Aliran keluar artinya ada pengurangan likuiditas, itu jadi penyebab," jelasnya.
Walhasil, agar bisa tetap mendapat dana untuk kebutuhan penyaluran kredit, maka bank rela mengerek bunga deposito lebih cepat dan tinggi, ketimbang kredit.
Meski begitu, Perry mengklaim bank sentral tetap sadar akan potensi pengetatan likuiditas bank. Makanya, BI terus memberikan kebijakan yang bertujuan melonggarkan likuiditas bank. Salah satunya dengan mengubah batas pencadangan kas bank di BI atau dikenal dengan istilah Giro Wajib Minimum (GWM).
"Untuk likuiditas rupiah, kami lakukan lelang
term repo. Likuiditas valas kami lakukan lelang valas dan
Domestic NDF," terangnya.
Di sisi lain, BI bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengaku terus melakukan pemantauan atas kondisi likuiditas bank, baik secara industri, kelompok, maupun individu.
"Kami akan pastikan likuiditas itu cukup di pasar uang dan perbankan. Tapi sejauh ini, likuiditas bank dari industri maupun individu itu cukup," tekannya.
Sementara, Anggota Dewan Komisioner LPS Destry Damayanti memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, tren pengetatan likuiditas bank sudah terjadi sejak tahun lalu dan akan berlanjut pada tahun ini.
Bahkan, ia memperkirakan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) akan jauh di bawah penyaluran kredit. Hal ini terjadi karena penghimpunan dana melalui deposito harus pula bersaing dengan instrumen investasi lain.
"Jadi ke depan yang kita butuhkan adalah kreatifitas bank untuk menciptakan sumber dana baru, jangan hanya tergantung DPK," kata Destry.
Senada, Ketua Himpunan Bank-bank Milik Negara (Himbara) sekaligus Direktur Utama BTN Maryono mengaku kondisi likuiditas sudah ketat. Bahkan, ia meminta regulator dalam hal ini OJK untuk mulai memikirkan kebijakan pengaturan tingkat bunga deposito bank guna mencegah perang suku bunga di tengah persaingan likuiditas.
"Saya kira, kami (perbankan) perlu diatur lagi mengenai suku bunga dana (suku bunga deposito). Karena kalau ini (bunga deposito) tidak diatur, apalagi dengan pengetatan likuiditas, maka tidak memberikan suasana kondusif," ungkapnya.
Sementara berdasarkan data LPS, saat ini rasio volume kredit terhadap deposito (
Loan to Deposito Rasio/LDR) perbankan nasional mencapai 92,59 persen per November 2018. Angka tersebut menunjukkan likuiditas cukup ketat karena berada di atas standar umum sekitar 92 persen.
(uli/agt)