Jakarta, CNN Indonesia -- Revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi (
Migas) jalan di tempat. Walaupun revisi sudah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (
Prolegnas) sejak 2010 lalu, sampai saat ini perkembangan revisi belum menunjukkan arah yang jelas.
Kejelasan arah sebenarnya sudah sempat terlihat September 2018 lalu, saat 10 fraksi di DPR RI melakukan harmonisasi revisi uu tersebut. Mereka menyetujui beberapa poin penting yang terdapat di dalam draf RUU Migas.
Salah satu poin adalah Badan Usaha Khusus (
BUK) migas. Di dalam pasal 43 draf RUU Migas yang diterima
CNNIndonesia.com,
BUK Migas merupakan badan yang sedianya mengatur dan mengendalikan kegiatan hulu dan hilir migas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan kata lain, fungsi yang tadinya dilakukan oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (
SKK Migas) dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (
BPH Migas) akan dilebur menjadi satu. Kendati demikian, bukan berarti posisi
BPH Migas dibubarkan.
Di dalam pasal 48 draf tersebut,
BPH Migas masih berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan, penyediaan, dan mendistribusikan Bahan Bakar Minyak (
BBM) dan gas bumi melalui pipa. Hanya saja belakangan, pemerintah menolak usulan tersebut.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (
ESDM)
Djoko Siswanto mengatakan pemerintah masih kukuh menginginkan pemisahan antara
regulator hulu dan hilir migas. Sikap pemerintah tersebut sudah disertakan ke dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) pemerintah terkait RUU Migas.
"Mengenai organisasi di hulu nanti akan seperti apa? Hilir seperti apa? Pembahasan kami masih di situ," jelas
Djoko beberapa waktu lalu.
Seharusnya, DIM terkait RUU Migas rampung 18 Januari lalu dan harus diserahkan ke Kementerian Sekretariat Negara sebelum dikembalikan ke DPR. Pembahasan dengan badan legislatif DPR terkait RUU Migas dijadwalkan dimulai awal Februari mendatang.
Untuk mempersiapkan diri dalam pembahasan tersebut, Presiden
Joko Widodo, Rabu (23/1) kemarin, mengumpulkan sebagian jajaran kabinetnya untuk menajamkan DIM RUU Migas. Di dalam pembukaannya,
Jokowi menekankan bahwa revisi UU Migas
nantinya tidak bertentangan dengan konstitusi.
Tapi sayangnya, sampai rapat selesai, tidak ada satu penjelasan pun yang diberikan pemerintah mengenai hasil rapat tersebut. Menteri Koordinator Perekonomian
Darmin Nasution dan Menteri Keuangan Sri
Mulyani Indrawati menunjuk Menteri
ESDM Ignasius Jonan untuk menjelaskan bahasan RUU Migas.
Hanya saja,
Jonan diketahui justru keluar melalui pintu berbeda dan tidak memberikan penjelasan apa pun mengenai hasil rapat. Terang saja, pemerintah berkutat banyak mengenai kelembagaan
regulator hulu dan hilir migas. Sebab, hal itu memang menjadi alasan utama revisi uu yang sudah berumur 17 tahun tersebut.
Di dalam UU Migas, pembinaan dan pengawasan hulu migas berpindah tangan dari PT Pertamina (Persero) ke badan lain. Termasuk, kewenangan Pertamina sebelumnya yang bisa
berkontrak dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (
KKKS) pun harus lenyap.
Setahun kemudian, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang menjadi cikal bakal BP Migas. Hanya saja, selang beberapa tahun berlalu, keberadaan BP Migas dipertanyakan.
Sebanyak 42 pihak menggugat kehadiran BP Migas ke MK karena dianggap bertentangan dengan konstitusi. Sebab, kehadiran BP Migas dianggap pro asing dan tidak mengutamakan kedaulatan negara.
Sebab, penggugat merasa BP Migas selalu memberikan pengelolaan Wilayah Kerja (WK) Migas kepada perusahaan asing. Gugatan itu dikabulkan oleh MK.
Melalui putusan MK Nomor 36/
PUU-X/2012, mahkamah membubarkan kehadiran BP Migas. Dengan keputusan tersebut, pengawasan dan pembinaan hulu migas dikembalikan MK kepada pemerintah.
Untuk menggantikan BP Migas, Presiden
SBY melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi membentuk
SKK Migas.
Hanya saja, di dalam
perpres tersebut, peran
SKK Migas hanya sementara sampai UU Migas yang baru terbit. Makanya, RUU Migas harus cepat selesai agar ada kepastian hukum mengenai badan pengatur hulu dan hilir migas.
Direktur Eksekutif
Energy Watch Mamit Setiawan berpendapat bahwa masalah kelembagaan sudah terlalu lama dan perlu segera diakhiri. Penyelesaian harus segara dilakukan pemerintah.
Investor migas sudah menunggu revisi UU Migas demi mendapatkan kepastian hukum atas modal yang akan mereka tanamkan di Indonesia. Membiarkan investor
berkontrak dengan
SKK Migas, padahal lembaga tersebut sifatnya hanya sementara, bisa menimbulkan keraguan ke investor yang akhirnya membuat mereka enggan masuk ke Indonesia.
Kalau dibiarkan itu bisa membahayakan. Maklum, produksi migas Indonesia saat ini lesu. Data
SKK Migas menunjukkan produksi minyak siap jual (
lifting) sepanjang tahun lalu hanya 777,23 ribu barel per hari.
Produksi tersebut turun dibanding tahun sebelumnya yang masih bisa mencapai 803,81 ribu barel per hari. "Saya kira pemerintah dan DPR terlalu berlarut dalam kelembagaan ini. Padahal investor menunggu kepastian hukum
SKK Migas, apalagi yang sekarang ini hanya sementara dan diatur oleh
Perpres. Masa depan
SKK Migas menjadi pertanyaan, dan di sinilah urgensi revisi UU Migas," jelas
Mamit.
Mamit mengatakan sekarang isu kelembagaan bukan hanya berkutat ke
regulator hulu, namun juga mengenai kelembagaan hilir. Menurut dia, sebaiknya memang ada penyatuan lembaga hulu dan hilir karena segala kegiatan hulu migas pasti akan berujung ke sektor hilir.
Jika tidak digabung, ia khawatir akan terjadi inefisiensi yang bisa berimbas kepada
melambannya distribusi di sektor migas seperti yang terjadi saat ini. Hanya saja, yang menjadi masalah adalah bagaimana badan hukum
BUK Migas ini
nantinya tidak bertentangan dengan aturan lainnya.
Sebetulnya kata
Mamit pemerintah bisa saja mengambil cara gampang dengan menggabungkan sektor hulu dan hilir menjadi satu badan usaha khusus. Hanya saja, ia takut hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Untuk mengatasi masalah tersebut,
Mamit mengatakan DPR dan pemerintah perlu segera bertemu. Mereka perlu membuat prioritas untuk menyelesaikan masalah kelembagaan hulu migas yang sifatnya sudah cukup mendesak.
Sudah hampir tujuh tahun BP Migas dibubarkan, namun belum ada badan pengatur hulu migas yang tetap dan memberikan kepastian hukum bagi investor. Pemerintah dan DPR harus tahu tujuan akhir dari revisi UU Migas tersebut.
Jika ingin menguatkan Pertamina sebagai kekuatan migas domestik, maka ada baiknya
SKK Migas dilebur ke Pertamina saja. Artinya, Pertamina bisa menjadi pemegang kuasa pertambangan (
mining rights) dan eksekutor kontrak bagi hasil produksi.
Apalagi, Pertamina akan menjadi produsen terbesar di Indonesia pada 2021 mendatang sekaligus memimpin
holding BUMN migas. Pertamina selaku pengawas dan pembina sektor hulu migas tentu akan memperoleh proses bisnis yang lebih efisien.
"Hal ini akan kembali ke zaman dulu, tapi Pertamina harus siap dengan
scope of work baru dan sumber daya manusia yang siap,"
paparnya.
Selain masalah kelembagaan, RUU Migas semakin krusial karena menyangkut skema kontrak yang berlaku bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (
KKKS). Pemerintah telah memberlakukan kontrak bagi hasil produksi
(Production Sharing Contract/PSC) skema
Gross Split sejak 2017 silam sebagai pengganti
PSC cost recovery.
Namun, kekuatan hukum skema kontrak tersebut lemah karena hanya diatur di dalam Peraturan Menteri
ESDM Nomor 8 Tahun 2017. Dalam draf RUU Migas, pemerintah menentukan tiga skema kontrak yang akan berlaku, yakni;
PSC gross split,
PSC cost recovery, atau bentuk lain.
"Masalah kontrak ini menjadi tanda tanya, saya rasa dua masalah ini (kelembagaan dan skema kontrak) menjadi isu utama dalam RUU migas ke depan," jelasnya.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM)
Fahmy Radhi juga mengatakan bahwa pembahasan RUU Migas ini sudah terlalu lama berkutat di masalah kelembagaan saja. Padahal menurut dia, seharusnya masalah kelembagaan ini harusnya sudah dirumuskan kala
SKK Migas terbentuk 2013 silam.
Apalagi, DPR dan pemerintah memahami bahwa
SKK Migas ini sifatnya hanya sementara. Jika memang perumusan RUU Migas bergerak ke penggabungan
regulator hulu dan hilir migas, maka sudah saatnya DPR dan pemerintah memikirkan bentuknya supaya tak menabrak aturan yang lain, termasuk UU BUMN. Adapun menurut
Fahmy, bentuk BUMN khusus lebih tepat kepada calon
BUK Migas ini karena sebagai satu kesatuan bisnis,
BUK migas akan lebih lincah dalam melakukan kegiatannya.
"Dan yang penting juga, kalau dari lembaga bisnis, ini bisa mewakili pemerintah dalam melakukan
PSC dengan dengan
KKKS, sehingga sifatnya
business-to-business. Kalau sifatnya seperti itu, maka kalau kontrak
dispute dan dibawa ke arbitrase, tanggung jawabnya hanya terbatas pada BUMN itu saja. Kalau kontrak dengan pemerintah ini kan jadinya
government to business, bahaya kalau ada sengketa kontrak," papar dia.
Ia berharap masalah kelembagaan ini cepat selesai. Berbagai kepastian yang tercantum di dalam RUU Migas harus segera disahkan agar investasi migas di dalam negeri tetap aman.
Senada dengan
Mamit, ada baiknya pemerintah dan DPR berfokus pada kelembagaan
SKK Migas dulu ketimbang melebar ke masalah lain. Jika memang kelembagaan
SKK Migas tak menemui titik terang hingga akhir, ia meminta pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (
Perppu).
"RUU Migas ini kan inisiatif DPR namun tidak selesai dan sudah tiga tahun lebih. Kalau dalam jangka waktu tertentu tidak selesai, sebaiknya disusun
perppu saja untuk mengatur
SKK Migas," pungkas dia.