Kalau dibiarkan itu bisa membahayakan. Maklum, produksi migas Indonesia saat ini lesu. Data
SKK Migas menunjukkan produksi minyak siap jual (
lifting) sepanjang tahun lalu hanya 777,23 ribu barel per hari.
Produksi tersebut turun dibanding tahun sebelumnya yang masih bisa mencapai 803,81 ribu barel per hari. "Saya kira pemerintah dan DPR terlalu berlarut dalam kelembagaan ini. Padahal investor menunggu kepastian hukum
SKK Migas, apalagi yang sekarang ini hanya sementara dan diatur oleh
Perpres. Masa depan
SKK Migas menjadi pertanyaan, dan di sinilah urgensi revisi UU Migas," jelas
Mamit.
Mamit mengatakan sekarang isu kelembagaan bukan hanya berkutat ke
regulator hulu, namun juga mengenai kelembagaan hilir. Menurut dia, sebaiknya memang ada penyatuan lembaga hulu dan hilir karena segala kegiatan hulu migas pasti akan berujung ke sektor hilir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika tidak digabung, ia khawatir akan terjadi inefisiensi yang bisa berimbas kepada
melambannya distribusi di sektor migas seperti yang terjadi saat ini. Hanya saja, yang menjadi masalah adalah bagaimana badan hukum
BUK Migas ini
nantinya tidak bertentangan dengan aturan lainnya.
Sebetulnya kata
Mamit pemerintah bisa saja mengambil cara gampang dengan menggabungkan sektor hulu dan hilir menjadi satu badan usaha khusus. Hanya saja, ia takut hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Untuk mengatasi masalah tersebut,
Mamit mengatakan DPR dan pemerintah perlu segera bertemu. Mereka perlu membuat prioritas untuk menyelesaikan masalah kelembagaan hulu migas yang sifatnya sudah cukup mendesak.
Sudah hampir tujuh tahun BP Migas dibubarkan, namun belum ada badan pengatur hulu migas yang tetap dan memberikan kepastian hukum bagi investor. Pemerintah dan DPR harus tahu tujuan akhir dari revisi UU Migas tersebut.
Jika ingin menguatkan Pertamina sebagai kekuatan migas domestik, maka ada baiknya
SKK Migas dilebur ke Pertamina saja. Artinya, Pertamina bisa menjadi pemegang kuasa pertambangan (
mining rights) dan eksekutor kontrak bagi hasil produksi.
Apalagi, Pertamina akan menjadi produsen terbesar di Indonesia pada 2021 mendatang sekaligus memimpin
holding BUMN migas. Pertamina selaku pengawas dan pembina sektor hulu migas tentu akan memperoleh proses bisnis yang lebih efisien.
"Hal ini akan kembali ke zaman dulu, tapi Pertamina harus siap dengan
scope of work baru dan sumber daya manusia yang siap,"
paparnya.
Selain masalah kelembagaan, RUU Migas semakin krusial karena menyangkut skema kontrak yang berlaku bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (
KKKS). Pemerintah telah memberlakukan kontrak bagi hasil produksi
(Production Sharing Contract/PSC) skema
Gross Split sejak 2017 silam sebagai pengganti
PSC cost recovery.
Namun, kekuatan hukum skema kontrak tersebut lemah karena hanya diatur di dalam Peraturan Menteri
ESDM Nomor 8 Tahun 2017. Dalam draf RUU Migas, pemerintah menentukan tiga skema kontrak yang akan berlaku, yakni;
PSC gross split,
PSC cost recovery, atau bentuk lain.
"Masalah kontrak ini menjadi tanda tanya, saya rasa dua masalah ini (kelembagaan dan skema kontrak) menjadi isu utama dalam RUU migas ke depan," jelasnya.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM)
Fahmy Radhi juga mengatakan bahwa pembahasan RUU Migas ini sudah terlalu lama berkutat di masalah kelembagaan saja. Padahal menurut dia, seharusnya masalah kelembagaan ini harusnya sudah dirumuskan kala
SKK Migas terbentuk 2013 silam.
Apalagi, DPR dan pemerintah memahami bahwa
SKK Migas ini sifatnya hanya sementara. Jika memang perumusan RUU Migas bergerak ke penggabungan
regulator hulu dan hilir migas, maka sudah saatnya DPR dan pemerintah memikirkan bentuknya supaya tak menabrak aturan yang lain, termasuk UU BUMN. Adapun menurut
Fahmy, bentuk BUMN khusus lebih tepat kepada calon
BUK Migas ini karena sebagai satu kesatuan bisnis,
BUK migas akan lebih lincah dalam melakukan kegiatannya.
"Dan yang penting juga, kalau dari lembaga bisnis, ini bisa mewakili pemerintah dalam melakukan
PSC dengan dengan
KKKS, sehingga sifatnya
business-to-business. Kalau sifatnya seperti itu, maka kalau kontrak
dispute dan dibawa ke arbitrase, tanggung jawabnya hanya terbatas pada BUMN itu saja. Kalau kontrak dengan pemerintah ini kan jadinya
government to business, bahaya kalau ada sengketa kontrak," papar dia.
Ia berharap masalah kelembagaan ini cepat selesai. Berbagai kepastian yang tercantum di dalam RUU Migas harus segera disahkan agar investasi migas di dalam negeri tetap aman.
Senada dengan
Mamit, ada baiknya pemerintah dan DPR berfokus pada kelembagaan
SKK Migas dulu ketimbang melebar ke masalah lain. Jika memang kelembagaan
SKK Migas tak menemui titik terang hingga akhir, ia meminta pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (
Perppu).
"RUU Migas ini kan inisiatif DPR namun tidak selesai dan sudah tiga tahun lebih. Kalau dalam jangka waktu tertentu tidak selesai, sebaiknya disusun
perppu saja untuk mengatur
SKK Migas," pungkas dia.
(agt)