Jakarta, CNN Indonesia -- PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau
BRI bakal menerbitkan obligasi hijau (
green bond) pada semester I 2019 sebesar US$500 juta atau setara dengan Rp7,05 triliun (kurs Rp14.100 per dolar Amerika Serikat).
Direktur Keuangan BRI Haru Koesmahargyo mengatakan penerbitan green bond itu merupakan bagian dari penerbitan obligasi global (
global bond) dengan total Rp20 triliun. Rencananya, surat utang tersebut akan dirilis secara bertahap dalam jangka waktu tiga tahun.
"Kalau dieksekusi rata-rata Rp7 triliun, lalu Rp6 triliun, lalu Rp6 triliun atau Rp7 triliun. Untuk Rp7 triliun bisa berbentuk green bond," kata Haru, Rabu (30/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Haru mengatakan pemilihan instrumen
green bond dilakukan guna menunjukkan BRI masuk sebagai perusahaan yang memenuhi syarat untuk menerbitkan jenis surat utang itu, yakni perusahaan yang mendukung lingkungan. Seperti diketahui, tak semua perusahaan bisa merilis
green bond.
"Jadi pembiayaan kami adalah pembiayan yang green yang dapat diterima menjadi bank yang ramah lingkungan dan berkelanjutan," terang Haru.
BRI akan memanfaatkan dana segar yang diraih dari penerbitan surat utang tersebut untuk membayar beberapa utang jatuh tempo pada 2019. Sisanya akan digunakan untuk menjaga tingkat rasio pinjaman terhadap pihak ketiga atau
Loan to Deposito Rasio (LDR) di level 90 persen.
"Kalau dibilang batas antara 88 persen sampai 92 persen yang kami anggap LDR ideal," ucap Haru.
BRI mencatat LDR sepanjang tahun lalu sebesar 89,3 persen. Angka itu diklaim manajemen masih ideal atau belum mengetat. Artinya, kemampuan perusahaan untuk menyalurkan kredit masih cukup besar.
Namun, bila dana dari penerbitan
green bond masih kurang untuk kebutuhan likuiditas perusahaan, Haru sudah menyiapkan opsi lain dengan pinjaman bilateral. Ia belum bisa menyebut potensi angka pinjaman yang akan dilakukan karena masih akan melihat kondisi sepanjang semester I 2019.
"Ada bank-bank yang sudah siap berikan pinjaman tapi kami lihat kehutuhannya nanti pada kuartal I atau kuartal II," jelas Haru.
Kebutuhan likuiditas ini seiring dengan target pertumbuhan penyaluran kredit BRI tahun ini, yaitu 12 persen-14 persen. Angka itu kurang lebih sama dengan realisasi kredit sepanjang 2018 sebesar 14,1 persen menjadi Rp843,6 triliun dari posisi 2017 lalu sebesar Rp739,3 triliun.
"Kredit Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) porsinya nanti meningkat dari 76 persen menjadi 80 persen dari total kredit," ucap Haru.
Sementara itu, tingkat rasio kredit bermasalah (
Non Performing Loan/NPL) gross tahun ini ditargetkan turun menjadi 2 persen-2,2 persen. Penurunannya terbilang tipis bila dibandingkan dengan realisasi NPL gross pada 2018 sebesar 2,27 persen.
Dari sisi laba bersih, BRI mematok pertumbuhan moderat sebesar 10 persen-12 persen dari realisasi 2018 sebesar Rp32,4 triliun. Angka itu tak jauh beda dengan pencapaian pertumbuhan laba bersih BRI tahun lalu sebesar 11,6 persen.
(aud/lav)