Jakarta, CNN Indonesia -- Calon Presiden (Capres)
Prabowo Subianto mengaku khawatir perkembangan perusahaan rintisan
(startup) dengan valuasi di atas US$1 miliar atau
unicorn yang kian masif akan mendorong semakin besar aliran dana ke luar negeri. Hal ini disampai Prabowo menjawab pertanyaan Capres Jokowi dalam debat Pilpres kedua yang digelar tadi malam.
"Kalau ada unicorn hebat, saya khawatir mempercepat nilai tambah kita dan uang-uang kita lari ke luar negeri. Silahkan Anda ketawa tapi ini masalah bangsa," ujar Prabowo dalam debat Pilpres tadi malam, Minggu (18/12).
Prabowo menambahkan jika tidak hati-hati dalam mendorong pertumbuhan
e-commerce, ia khawatir kehadiran perusahaan-perusahaan teknologi itu dapat mempercepat arus larinya uang ke luar negeri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini saya bukan pesimistis. Ini saya ingin mengunggah kesadaran bahwa sistem sekarang ini memungkinkan uang kita mengalir ke luar negeri," ungkap Prabowo.
Unicorn merupakan istilah yang sangat familiar di dunia perusahaan rintisan atau
startup. Istilah unicorn digunakan untuk mendeskripsikan perusahaan rintisan yang telah mengantongi valuasi lebih dari US$1 miliar atau sekitar Rp14 triliun (asumsi kurs Rp14 ribu per dolar AS).
Saat ini, terdapat empat unicorn di Tanah Air, yakni Go-Jek, Bukalapak, Tokopedia, dan Traveloka. Keempat pemilik unicorn tersebut bahkan saat ini masuk dalam daftar 150 orang terkaya di Indonesia versi Majalah Globe Asia.
Kekhawatiran Prabowo tak sepenuhnya salah. Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual menjelaskan perusahaan-perusahaan
e-commerce dikhawatirkan mendorong pertumbuhan impor. Guna membiayai impor, tentu dibutuhkan devisa.
"Sekarang bukan hanya perusahaan yang bisa impor, tetapi dengan ketukan jari, orang pribadi melalui
e-commerce juga bisa beli barang dari luar negeri," ujar David kepada
CNNIndonesia.com, Senin (18/2).
Selain dari impor khusus untuk kasus unicorn
e-commerce, aliran dana keluar yang bisa dipicu oleh pembayaran dividen atau keuntungan pada perusahaan unicorn kepada investor didominasi asing.
"Tapi sekarang sebenarnya itu justru ada aliran dana asing (
inflow) yang masuk, bahkan lebih dari US$1 miliar," ungkap dia.
Terlepas dari kekhawatiran Prabowo soal dana yang mungkin terbawa ke luar negeri, David mengingatkan dari dampak ekonomi yang dihasilkan para unicorn tersebut. Salah satunya, dapat turut menggerakkan usaha mikro, kecil, dan menengah.
"Jelas kelihatan mereka bisa mendorong sektor UMKM. Ada penelitian yang menunjukkan bahwa
e-commerce mendorong omzet usaha-usaha kecil tersebut bahkan naik lebih dari dua kali," jelas dia.
Ke depan, menurut David, perusahaan-perusahaan
e-commerce unicorn seharusnya dapat lebih mendorong penjualan produk UMKM tak hanya di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Dengan demikian, diharapkan
e-commerce turut membantu devisa masuk ke dalam negeri.
Sementara, Ekonom Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih menilai kepemilikan asing dalam
startup berskala besar atau unicorn memang perlu diperhatikan. Pasalnya, keuntungan yang besar dari industri dalam negeri tentu akan dibawa ke luar negeri. Hal ini pun menurut dia, bukan barang baru dan sudah biasa terjadi pada investasi yang saat ini banyak ditanamkan di Indonesia.
"Unicorn itu pemegang saham kebanyakan dari asing, maka keuntungan tentu dibawa ke luar negeri," jelas dia.
Kendati demikian, menurut dia, saat ini sebagian besar unicorn belum menghasilkan keuntungan yang signifikan bagi investor dalam jangka pendek. Dengan demikian, ia memperkirakan belum ada dana dalam jumlah besar akibat keuntungan unicorn yang mengalir ke luar negeri.
'Celah' Pajak UnicornSementara Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo mengakui saat ini investor keempat unicorn di Indonesia memang mayoritas asing. Hal ini, menurut dia, tentu harus diawasi.
Yustinus mengaku memang ada fakta kebocoran ekonomi atau mengalirkan kekayaan orang Indonesia ke luar negeri. Ia juga membenarkan pernyataan Prabowo terkait pernyataan salah satu menteri era Jokowi yang menyebut ada simpanan orang Indonesia di luar negeri yang mencapai sekitar Rp11 ribu triliun.
"Kalau soal kebocoran ekonomi, memang faktanya ada. tapi saat ini sudah ada amnesti pajak, ada AEOI (pertukaran informasi keuangan untuk perpajakan) dan sudah ada kerja sama timbal balik hukum dengan sejumlah negara," terang dia.
Dengan upaya-upaya yang sudah dilakukan pemerintah, menurut dia, potensi pengemplangan pajak akibat disembunyikannya kekayaan orang Indonesia di luar negeri bisa diminimalisasi.
Di sisi lain, Yustinus mengaku tak yakni keempat unicorn yang ada saat ini berpotensi mengelabui perpajakan dengan menempatkan sebagian kekayaannya di luar negeri. Menurut dia, keempat unicorn tersebut, sejauh ini menjalankan bisnis dengan baik, membentuk badan hukum Indonesia dan membayar pajak.
Adapun tindakan mengemplang pajak dengan menaruh dana di negara surga pajak sebenarnya umumnya dimanfaatkan oleh perusahaan besar konvensional dan orang-orang kaya di Indonesia. Sementara perusahaan teknologi sebenarnya memiliki celah pajak yang lebih besar, mengingat keberadaan perusahaan teknologi tersebut secara fisik sebenarnya tak dibutuhkan dalam menjalankan bisnis di suatu negara.
Sebenarnya, menurut dia, masalah perpajakan terkait perusahaan teknologi sudah lama menjadi perbincangan para petinggi dunia. Masalahnya, menurut dia, justru selama ini datang dari perusahaan teknologi besar, salah satunya Google.
"Unicorn dan perusahaan-perusahaan teknologi besar seperti Google itu bisa hadir di perekonomian kita tanpa perlu ada badan usaha secara fisik. Sehingga yang menjadi pertanyaan adalah pajak apa yang sebenarnya cocok dikenakan kepada mereka," ungkap dia.
Namun, sejauh ini, ia mengapresiasi langkah pemerintah yang sudah berhasil membuat Google lebih patuh dalam membayar pajak dan berencana membentuk badan usaha di Indonesia.
"Sebenarnya unicorn dan perusahaan-perusahaan teknologi ini kan sebagian besar reseller dan jual jasa, jadi sebenarnya yang paling cocok adalah PPN (Pajak Pertambahan Nilai)," pungkas dia.
[Gambas:Video CNN] (lav)