Jakarta, CNN Indonesia -- Mulai hari ini, moda transportasi Mass Rapid Transit (
MRT) sudah bisa dinikmati oleh warga ibu kota. Masyarakat umum bisa menjajal moda
transportasi yang membentang dari Lebak Bulus hingga Bundaran Hotel Indonesia secara gratis selama masa uji coba hingga 24 Maret mendatang.
Sistem transportasi Indonesia untuk pertama kalinya akan menggunakan sistem jaringan bawah tanah. Adapun, enam stasiun bawah tanah dengan panjang 6 km ini akan melewati enam stasiun mulai dari Senayan, Istora, Bendungan Hilir, Setiabudi, Dukuh Atas, dan Bundaran Hotel Indonesia.
Proyek ini memang baru dimulai 2013 silam dengan total panjang 16 km dan nilai investasi mencapai Rp16 triliun. Sang pengembang, PT MRT Jakarta rencananya akan melanjutkan fase II pembangunan MRT dengan rute Bundaran HI - Kampung Bandan sepanjang 8,3 km yang peletakan batu pertamanya akan dilakukan sesaat lagi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski konstruksi hanya berjalan lima tahun, ternyata mimpi menghadirkan transportasi massal ini telah berada di benak pemerintah tiga dekade sebelumnya.
Dikutip dari jurnal bertajuk Jakarta Mass Rapid Transit Project karya Wimpy Santosa dan Tri Basuki dari Universitas Parahyangan, ide untuk menghadirkan MRT tercetus pada 1985. Kala itu, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang dikepalai BJ Habibie mengatakan pertumbuhan populasi Jakarta memang menurun dari rata-rata 4 persen antara tahun 1970 hingga 1980 menjadi 2,3 persen antara 1985 hingga 1990. Hanya saja, pertumbuhan kota satelit Jakarta seperti Bogor, Tangerang, dan Bekasi malah naik dari 3,8 persen menjadi 4,8 persen di periode yang sama.
BPPT saat itu menilai jalan raya di Jakarta tak mampu mengakomodasi jumlah kendaraan yang melaju di atasnya. BPPT pernah menaksir, jumlah kendaraan pribadi di Jakarta akan mencapai 3 juta kendaraan di 2015, jumlah itu tak akan terakomodasi dengan jalan sepanjang 6.300 kilometer (km). Oleh karenanya, dibutuhkan sarana transportasi yang bisa mengakomodasi mobilitas penduduk dari wilayah satelit menuju Jakarta tanpa harus membebani lalu lintas.
Akhirnya, pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soeharto memutuskan untuk membangun sistem MRT Jakarta pada 1996 silam dengan relasi Blok M - Stasiun Jakarta Kota. Harapannya, bisa mengurangi kepadatan lalu lintas selatan hingga utara Jakarta. Namun, impian itu kandas karena Indonesia harus dilanda krisis ekonomi pada 1997 dan 1998.
Setahun kemudian, pemerintah kembali menggapai mimpi yang tertunda itu dengan bantuan studi kelayakan oleh Japan International Cooperation Agency (JICA). Kala itu, JICA menawarkan fase pertama pembangunan MRT dengan panjang 15,5 km dengan jumlah 13 stasiun dengan relasi Fatmawati hingga Monas. JICA juga menaksir bahwa total pengguna MRT bisa mencapai 169.298 orang jika proyek ini selesai 2015 silam.
 Ide pembangunan moda Transportasi MRT sudah tercetus sejak 1985. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Namun, pemerintah baru mulai serius menggarap MRT pada 2005 setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memasukkan proyek ini ke dalam proyek nasional. Sejak saat itu, pemerintah pusat dan pemerintah Provinsi DKI Jakarta langsung bergerak merealisasikan proyek ini, di mana pemerintah Jepang juga bersedia memberikan pinjaman.
Akhirnya, pada 28 November 2006, Gubernur Japan Bank for international Cooperation (JBIC) Kyosuke Shinozawa dan Duta Besar Indonesia untuk Jepang Yusuf Anwar menandatangani persetujuan pembiayaan proyek MRT. Kemudian, JICA didapuk menjadi tim penilai dari JBIC setelah JBIC bergabung dengan JICA.
Setelah itu, pembangunan kian serius setelah provinsi DKI Jakarta membentuk PT Mass Rapid Transit Jakarta (PT MRT Jakarta) pada 17 Juni 2008. Di dalam strukturnya, mayoritas saham digenggam oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan rincian Pemprov DKI Jakarta sebesar 99,98 persen dan PD Pasar Jaya 0,02 persen.
Seharusnya, di tahun yang sama, desain teknis dan pengadaan lahan sudah bisa terpenuhi sehingga uji coba operasional bisa dilaksanakan pada 2014. Sayangnya, jadwal tersebut mundur sehingga desain proyek mulai dilakukan pada 2008 dan waktu operasional molor hingga awal tahun ini.
Di tahun 2012, Gubernur DKI Jakarta saat itu Joko Widodo pernah berujar bahwa pembangunan terpaksa molor karena pemerintah provinsi masih meragukan evaluasi atas kelayakan proyek MRT. Adapun, tiga masalah yang menjadi topik pembahasan yang lama adalah masalah pengembalian investasi
(return on investment), jumlah intensitas penumpang, serta skema pinjaman bersyarat ketat
(tight loan).
Saat itu, Jokowi mempertanyakan plafon pinjaman JICA bernilai Rp17 triliun dengan bunga rendah, namun harus menggunakan teknologi dan kontraktor asal Jepang. Namun, setelah bergulat panjang dengan Jepang, konstruksi akhirnya dilakukan Oktober 2013, di mana peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Jokowi sendiri.
"Kenapa ini pakai tight loan (pinjaman bersyarat ketat). Saya tanya kenapa, dan ini juga belum terjawab," ujar Jokowi kala itu.
Setelah lima tahun terlewati, kini MRT Jakarta segera beroperasi. Mimpi selama 34 tahun itu akhirnya akan terwujud.
Tergapainya impian Jakarta dalam memiliki sistem MRT ini kerap digambarkan oleh Jokowi sebagai keberhasilan dirinya mengelola Jakarta. Di dalam sebuah kesempatan di Istora Senayan pada bulan lalu, Jokowi berkisah bahwa MRT harus dibangun karena Jakarta selalu mengalami kerugian Rp65 triliun per hari gara-gara macet.
Selama 26 tahun, pemerintah provinsi selalu takut membangun MRT karena selalu memikirkan aspek untung-rugi. Hanya saja, ia mengaku punya keputusan berbeda.
"Kalau pemerintah negara berhitung untung rugi pasti kita tidak akan pernah bangun MRT. Kita harus bicara masalah ekonomi makro. Pada saat jadi Gubernur kerugian negara karena macet itu kehilangan Rp65 triliun," terang Jokowi.
[Gambas:Video CNN] (agi)