Di Jepang, Toko Kelontong Modern 'Krisis' Tenaga Kerja

CNN Indonesia
Kamis, 21 Mar 2019 16:13 WIB
Krisis tenaga kerja mengusik bisnis toko kelontong modern di Jepang. Seperti waralaba 7-Eleven, Family Mart, dan Lawson.
Ilustrasi. (ANTARA FOTO/Reno Esnir).
Jakarta, CNN Indonesia -- Krisis tenaga kerja mengusik bisnis toko ritel modern di Jepang. Padahal, waralaba, seperti 7-Eleven, Family Mart, dan Lawson, yang beroperasi selama 24 jam berkembang pesat di Negeri Sakura.

Mitoshi Matsumoto, salah satu anggota asosiasi toko serba ada di Jepang mengungkap keterbatasan tenaga kerja memaksa pemilik mengoperasikan sendiri toko mereka. Meski demikian, mereka pun mengaku kewalahan.

Karenanya, banyak pemegang merek waralaba membujuk pemilik merek mengizinkan agar toko ditutup lebih awal. "Pada saat perjanjian (dengan pemilik merek), kami tak melihat akan terjadi kekurangan tenaga kerja atau lonjakan upah minimum," ujarnya seperti dilansir Reuters, Kamis (21/3).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Toko kelontong waralaba mulai berkembang di Jepang sejak 1970-an. Aksesibilitas 24 jam yang ditawarkan terbukti cocok dengan budaya masyarakat setempat yang kerap bekerja hingga larut malam.


Toko-toko ini terang benderang dan tersebar di banyak sudut di Jepang. Toko waralaba bahkan telah menjadi bagian penting dari kehidupan modern masyarakat Jepang.

Tak heran, jumlahnya mencapai 58 ribu toko pada tahun lalu, yang sebagian besar dioperasikan dengan merek 7-Eleven, Family Mart, dan Lawson.

Selama bertahun-tahun, model bisnis waralaba ini telah menyediakan lapangan kerja bagi banyak orang. Kini, satu per satu toko mulai dijaga sendiri oleh para pemiliknya karena kekurangan tenaga kerja, seperti yang dilakukan Matsumoto.

Ironisnya, Matsumoto, yang kewalahan bekerja dan baru saja ditinggal mati sang istri, memaksa menutup tokonya selama beberapa jam di malam hari demi beristirahat. Itu pun, Matsumoto terancam denda dari pemegang mereknya.


Karena kejadian yang menimpanya itu lah muncul simpati luas di masyarakat yang menuntut keseimbangan antara hidup dan bekerja. Bahkan, surat kabar Nikkei yang dianggap pro-bisnis menulis sebuah editorial yang mengajarkan pengusaha untuk memberlakukan jam kerja yang wajar.

Beruntung, tuntutan masyarakat berbuah manis. Pengusaha pun mulai melakukan uji coba kerja dengan jam lebih pendek untuk 20.700 toko. Namun demikian, pengusaha tetap menyatakan kebijakan jam kerja lebih pendek sebagai eksperimen semata dan belum akan mengubah format toko waralaba 24 jam.

Roy Larke, analis industri ritel di Jepang menuturkan bahwa sektor ritel modern tengah jenuh. "Kami (Jepang) memiliki terlalu banyak toko serba ada. Kadang-kadang secara harafiah mereka bersebelahan. Terlalu banyak," imbuh dia.

Katsuhiko Shimizu, juru bicara Seven & i Holding yang memiliki 7-Eleven dan rantai pasokan merchandise Ito-Yokado, menyatakan ketidaksetujuannya. Menurut dia, masih ada ruang inovasi. Misalnya, dengan menyertakan teknologi otomatisasi dan kecerdasan buatan untuk proses stocking hingga check out.

[Gambas:Video CNN] (uli/bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER