Jakarta, CNN Indonesia -- Awan mendung tengah menyelimuti industri
tekstil Indonesia. Hal itu juga mendera PT Delta Merlin Dunia Tekstil (DMDT), anak usaha dari grup perusahaan tekstil
Duniatex yang ditengarai sedang kesulitan likuiditas.
Kondisi itu terkuak ketika lembaga pemeringkat Standard and Poor (S&P) menurunkan peringkat obligasi global DMDT dari sebelumnya BB- menjadi CCC- melalui riset yang dirilis pada 16 Juli 2019 lalu. Menurut pengertian S&P, peringkat ini mengindikasikan bahwa perusahaan sangat rentan dan tidak bisa menjalankan komitmen keuangannya.
Penurunan peringkat ini bermula ketika anak usaha DMDT, PT Delta Dunia Sandang Tekstil (DDST) kedapatan tidak bisa mengembalikan kewajiban bunga atas obligasi senilai US$260 juta pada awal bulan ini. S&P kemudian khawatir bahwa kondisi yang menerpa DDST berdampak pada keuangan induk usahanya, sehingga peringkat utang DMDT terpaksa diturunkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terlebih, DMDT memiliki kewajiban untuk membayar utang sindikasi senilai US$5 juta yang akan jatuh tempo pada September mendatang. Posisi likuiditas DSDT yang mampet bisa bikin DMDT tak bisa membayar kembali utang tersebut.
S&P menyebut biang kerok seretnya likuiditas Duniatex dan anak usahanya terjadi karena perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Penjualan grup Duniatex menurun akibat tak bisa menahan gempuran impor tekstil China yang lebih murah. Hal ini sendiri terjadi setelah AS membebankan bea masuk impor sebesar 25 persen kepada produk tekstil asal China, sehingga negara tirai bambu itu mulai membidik pasar Indonesia.
"Bahkan kami bisa menurunkan rating DDMT ke SD jika perusahaan tak bisa menepati janji untuk membayar kewajibannya pada September mendatang. Dan mungkin kami juga akan menurunkan peringkat ke D jika perusahaan tak melakukan restrukturisasi pendanaan," jelas laporan tersebut.
Duniatex bukanlah pemain kemarin sore di industri tekstil. Grup yang berdiri sejak 1974 ini memiliki 18 anak usaha yang mempekerjakan 40 ribu orang dan berdiri di atas lahan seluas 150 hektare (ha). Menurut laman resmi perusahaan, grup ini merupakan salah satu pemain utama di industri tekstil Indonesia lantaran usahanya terintegrasi dari hulu ke hilir.
Namun, siapa sangka, perusahaan yang sudah berdiri empat dekade lebih harus tergusur oleh perang dagang yang notabene berlangsung selama setahun.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat mengakui bahwa industri tekstil terbilang menantang di tahun ini. Sebab, impor demi konsumsi domestik dianggap sudah berlebihan meski beberapa produk tekstil sudah diproduksi dalam negeri.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), impor tekstil dan produk tekstil pada tahun lalu tercatat US$10,02 miliar atau meningkat 13,9 persen dibanding tahun sebelumnya yakni US$8,8 miliar. Meski banyak tantangan di pasar domestik, namun saat ini nilai ekspor masih cukup baik. Data BPS mengatakan, ekspor tekstil dan produk tekstil hingga Mei kemarin tercatat US$5,6 miliar dan diproyeksi bisa mencapai US$14,6 miliar di tahun ini.
"Banyak sekali kesempatan yang dapat dicapai, terutama ke AS yang kini sedang ditengah prang dagang dengan China," jelas Ade.
Oleh karena kondisi pasar ekspor yang masih menjanjikan, maka ia mengatakan kasus Duniatex tidak mencerminkan industri tekstil secara keseluruhan. Bahkan menurut dia, kasus Duniatex malah menunjukkan anomali, sebab penurunan peringkat S&P terjadi hanya dalam waktu empat bulan setelah perusahaan menerbitkan surat utang.
Ke depan, ia berharap seluruh pelaku industri tekstil tetap memperhatikan sistem tata kelola perusahaan yang prima, baik untuk perusahaan tekstil yang melantai di bursa atau atau pun tidak.
"Kami mengimbau agar seluruh stakeholder dalam sektor ini cermat dalam menilai kasus ini sebagai sesuatu yang menggambarkan karakter sebuah individu, dan bukan potret industri prioritas pemerintah saat ini," jelas dia.
Sementara itu, perbankan pun sudah ancang-ancang jika memang DMDT tak bisa membayar utang sebesar US$5 miliar pada September nanti. Salah satu bank yang sudah memasang sikap kuda-kuda adalah PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, selaku salah satu kreditur DMDT.
Direktur Manajemen Risiko BNI Bob Tyasika Ananta mengatakan kredit kepada anak usaha Duniatex tersebut sebesar Rp459 miliar yang terdiri atas kredit sindikasi senilai Rp301 miliar dan kredit bilateral sebesar Rp158 miliar. Memang, angsuran kredit yang seharusnya dibayarkan Juni kemarin masih berjalan seperti biasa. Kemudian, BNI juga belum memutuskan kredit Duniatex ke dalam kategori cross default, atau memutuskan hubungan kredit secara sepihak.
[Gambas:Video CNN]
Namun, jika nantinya DMDT tidak bisa membayar kembali utangnya, maka BNI sudah mengantongi nilai jaminan kredit sebesar 2,5 kali lipat dari total kredit yang disalurkan. "Tapi tentu kami akan lihat nanti kelanjutan kasus ini seperti apa," tutur dia.
(lav)