Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah ekonom memperkirakan nilai tukar
rupiah akan menembus level Rp14.600-Rp14.700 per
dolar Amerika Serikat (AS) pada 2020. Perkiraan itu lebih lemah dari target pemerintah dalam Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2020.
Perkiraan ekonom terhadap pelemahan rupiah terhadap dolar AS didasari oleh defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang semakin membengkak pada kuartal II 2019.
Peneliti Indef Eko Listianto menyatakan neraca transaksi berjalan erat kaitannya dengan ekspor dan impor. Saat ini, pemerintah masih sulit untuk menahan impor, karena masih banyak kebutuhan bahan baku industri yang dibutuhkan dari luar negeri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tidak bisa juga potong impor besar-besaran, nanti industri dalam negeri bagaimana? Kan butuh bahan baku," ujar Eko, Senin (19/8).
Di sisi lain, kinerja ekspor tak bisa diandalkan, di tengah kondisi global yang semakin tak kondusif. Mulai dari perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China hingga resesi ekonomi global.
"CAD mengatasi susah, pilihan tidak banyak. Hanya ekspor dan impor. Mau neraca jasa, tapi lebih susah lagi karena jasa banyak menggunakan perusahaan asing, misalnya ekspor tapi gunakan kapal asing. Jadi sama saja," kata Eko.
Perang dagang, katanya, mempengaruhi permintaan di dunia. Investor ikut menahan ekspansi ketika ekonomi global sedang tak kondusif seperti sekarang.
Bank Indonesia (BI) mencatat defisit transaksi berjalan kuartal II 2019 mencapai US$8,4 miliar atau 3 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Angka itu meningkat 21 persen dibandingkan dengan kuartal I 2019 yang hanya US$6,97 miliar.
"Rupiah jadi saya pikir bisa ke Rp14.700 per dolar AS," imbuh dia.
Namun, Eko yakin rupiah tak sampai ke Rp15 ribu per dolar AS. Hal ini ditopang oleh sikap The Fed yang mulai melunak dengan menurunkan suku bunga acuan menjadi 2 persen-2,25 persen.
"Nah dengan potensi resesi ekonomi ini ke depannya mungkin The Fed akan menurunkan lagi. Ketika itu terjadi dolar AS tidak menarik lagi," jelasnya.
Senada, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty menyatakan salah rupiah akan tembus dari Rp14.400 per dolar AS. Ia menerangkan potensi pelemahan rupiah bukan hanya karena neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan yang belum membaik, tapi juga minimnya investor global untuk menanamkan dananya di Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi dalam negeri pada kuartal II 2019 hanya 5,05 persen. Realisasi itu melambat dari periode yang sama tahun lalu sebesar 5,27 persen.
"Itu kan pengaruhi pasar saham juga, jadi rupiah ini bisa soal fundamental dan non fundamental. Kalau fundamental kan soal mungkin ekspor dan impor," ucap dia.
Ketika ekonomi suatu negara melambat, tambah Telisa, pasar saham tak lagi dilirik oleh investor global. Dengan demikian, rupiah ikut terkena sentimen negatif.
[Gambas:Video CNN] (aud/lav)