Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Perindustrian (
Kemenperin) tengah mengkaji kebijakan pembatasan merek dan kemasan polos pada
rokok dan produk
makanan minuman (mamin).
Sebelumnya, penerapan kemasan polos pada rokok telah diterapkan di Australia sejak 2011 lalu. Indonesia kemudian menggugat kebijakan tersebut namun ditolak oleh WTO pada 2018 lalu.
Kasubdit Industri Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin Mogadishu Djati mengungkapkan kajian tersebut dilakukan atas rekomendasi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Namun, pemerintah berhati-hati dalam menerapkan kebijakan bagi industri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami harus kaji lebih dalam lagi dampaknya," ujar Mogadishu di Jakarta, Rabu (9/10).
Sejauh ini, pihaknya belum melihat penerapan kemasan polos untuk industri makanan dan minuman memungkinkan. Namun, kebijakan itu cukup memungkinkan untuk diterapkan pada produk tembakau.
Di tempat yang sama, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) menilai implementasi aturan pembatasan merek dan kemasan polos pada produk makanan dan minuman, akan berbenturan dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Perlindungan Konsumen.
"Kemasan dan label di mamin adalah informasi untuk konsumen. Ini ada label nutrisi, komposisi, bahkan sertifikasi. Jadi kemasan polos tidak mungkin (bisa dilakukan), sebab masuk ke UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen," kata Doni di kawasan Jakarta Pusat, Rabu (9/10).
Dalam beleid tersebut, para produsen makanan dan minuman wajib untuk mencantumkan label berisi nama produk, bahan-bahan yang dibutuhkan untuk proses produksi, dan juga berat bersih.
Menurut Doni, pencantuman label informasi dan sertifikasi ini masih diperlukan oleh konsumen di Indonesia.
Pasalnya, apabila label tersebut dihilangkan, konsumen akan ragu untuk membeli produk baru karena tidak mengetahui informasi bahan dasar produk, serta tidak adanya jaminan sertifikasi.
Selain itu, kebijakan pembatasan merek dan kemasan polos akan menyulitkan pihak produsen dalam menunjukkan dan menjaga citra merek tersebut lewat kemasan.
Sementara, pembangunan citra melalui merek termasuk salah satu hal yang penting dalam meningkatkan performa perusahaan. Perusahaan juga telah menghabiskan modal besar bagi perusahaan besar yang telah melakukan
branding sejak lama.
"Enggak murah sampai bisa jadi
top of mind (merek yang sudah familiar bagi konsumen) Enggak murah, dan (tidak) sebentar," katanya.
Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Eddy Hussy juga mengatakan dampak dari pembatasan merek dan kemasan polos dapat merugikan produsen yang legal karena menimbulkan potensi munculnya pemalsuan produk.
"Dampak buruknya bisa mulai dari pemboncengan reputasi, pemalsuan, hingga akan maraknya produk-produk ilegal," ujarnya.
Menurut dia, kebijakan itu juga mengancam produk-produk baru, termasuk produk dari produsen kecil yang pada awalnya sudah kesulitan dalam bersaing.
[Gambas:Video CNN] (ara/sfr)