Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Presiden RI
Jusuf Kalla membandingkan pemerintahan otoriter ala Presiden
Soeharto dengan era pemerintahan
Jokowi. Menurutnya, kondisi sekarang beda dengan dulu.
Dulu pemerintahan yang dijalankan Soeharto otoriter. Sementara sekarang pemerintahan yang dianut lebih demokratis.
Perbedaan tersebut berpengaruh juga pada investasi. Menurutnya, ketika negara menganut sistem otoriter, kebijakan investasi terpusat di satu titik dan bisa diimplementasikan hingga tingkat terbawah dengan mudah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu berbanding terbalik dengan pemerintahan yang demokratis sekarang. Sistem demokratis membuat kebijakan yang dianut pemerintah pusat sering berbeda dengan yang di daerah.
"Kalau jaman Pak Harto apa yang diputuskan oleh kabinet sampai ke camat karena garis lurus dan otoriter sedikit. Kalau dulu di bawah arahan presiden semua," ucap Jusuf Kalla, Kamis (17/10).
Karena kebijakan yang bergaris lurus tersebut, penyediaan lahan untuk investasi lebih mudah. Kondisi tersebut berbeda dengan sekarang.
Karena lebih demokratis, lahan lebih susah disediakan. Dan itu yang terjadi sekarang, lahan justru menjadi kendala bagi calon investor untuk menanamkan dananya di dalam negeri.
"Kalau sekarang tidak bisa seenaknya, pembebasan lahan harus sesuai harga pasar. Kalau dulu penggunaan lahan bisa langsung saja," jelasnya.
[Gambas:Video CNN]Bukan hanya soal lahan, ia juga mengatakan dari sisi kebijakan investasi, masalah yang sama juga terjadi. Sekarang, pemerintah pusat sudah banyak mengeluarkan kebijakan untuk menggenjot investasi.
Tapi, kebijakan itu tak begitu saja diamini oleh pemimpin daerah. Menurutnya, sistem otonomi daerah membuat kepala di daerah tersebut memiliki wewenang untuk membuat kebijakannya sendiri tanpa perlu mengikuti pusat.
"Sekarang karena otonomi, apa yang diputuskan di pusat untuk kelangsungan investasi belum tentu dilaksanakan dengan baik di provinsi dan kabupaten. Jadi kadang-kadang tidak serasi apa yang diputuskan daerah dan pusat karena otonomi ini," kata Jusuf Kalla.
Karena perbedaan itu, investasi tidak bisa digenjot dengan cepat. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi sepanjang 2018 hanya naik 4,11 persen dari Rp692,8 triliun menjadi Rp721,3 triliun.
Secara persentase pertumbuhannya melambat, karena aliran investasi pada 2017 naik hingga 13,05 persen. Selain itu, Indonesia juga tak dilirik oleh 33 perusahaan yang merelokasi pabriknya dari China akibat perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan Negeri Tirai Bambu tersebut.
Perusahaan itu justru memindahkan pabriknya ke Vietnam, Thailand, dan Meksiko. "Mengatasi [masalah investasi] dengan reformasi, jelaskan dengan baik ke pemerintah daerah agar pola pikir sama dan bisa memberikan manfaat juga ke daerah," papar Jusuf Kalla.
Swasembada Pangan
Selain membandingkan soal sistem pemerintahan, Jusuf Kalla juga membandingkan kemampuan pemerintah dalam menciptakan swasembada pangan. Di eranya, Soeharto memang berhasil membawa Indonesia swasembada pangan.
Menurutnya, keberhasilan tersebut tak terlepas dari jumlah penduduk saat itu yang sebanding dengan luas lahan yang mereka miliki.
"Dulu jaman Pak Harto bisa swasembada. Dulu penduduknya 130 juta, sawah ada 10 juta hektare (ha). Produktivitas 3 ton per ha, jadi bisa swasembada
lah," ujat Jusuf Kalla.
Hal tersebut berbeda dengan saat ini. Jumlah penduduk di Indonesia sudah mencapai 260 juta. Di sisi lain, luas sawah petani bukannya bertambah tapi justru menipis.
"Luasan sawahnya turun, ya bagaimana mau swasembada," imbuhnya.
Kendati begitu, ia berharap produksi pangan di Indonesia tetap positif ke depannya agar kebutuhan masyarakat bisa terpenuhi. Untuk itu, ia menyebut dibutuhkan teknologi agar produksi pangan tetap stabil.
"Mudah-mudahan tahun ini tetap oke. Makanya, teknologi penting untuk menyelamatkan bangsa ini," pungkas Jusuf Kalla.
(aud/asa)