Jakarta, CNN Indonesia -- Kasus penyelundupan komponen motor bekas
Harley Davidson oleh Direktur Utama
Garuda Indonesia I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra atau
Ari Askhara kembali mencoreng citra perusahaan pelat merah.
Kasus ini terkuak oleh hasil penyelidikan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan yang menemukan ada komponen motor bekas Harley dan dua sepeda Brompton pada Minggu (17/11) lalu. Barang-barang itu diselundupkan dan masuk ke Indonesia menggunakan pesawat yang baru dibeli Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA9271 bertipe Airbus A330-900.
Saat diperiksa, pesawat itu membawa sejumlah barang tersebut, namun diletakkan di tempat yang tak lazim, yaitu lambung pesawat. Selain itu, barang-barang dari pesawat itu juga tidak melalui proses kepabeanan karena mendarat di Pusat Logistik Berikat (PLB)
Garuda Maintenance Facility (GMF).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi menyatakan barang-barang itu jelas diselundupkan karena masuk ke Indonesia dengan cara-cara yang tak wajar. Hal ini terindikasi dari penempatan barang dan prosedur yang tak dijalani.
"Moge (motor gede) bekas berdasarkan aturan, jelas-jelas tidak boleh diimpor. Kalau ada itikad baik, tentu mereka tidak perlu memutilasi dan ditempatkan di kargo, bukan di kabin, bukan di bagasi. Memutilasi (komponen motor) sudah ada indikasi," ujar Heru, Kamis (5/12).
Di sisi lain, Menteri BUMN Erick Thohir mengaku sudah mendapat laporan penyelidikan Komite Audit Kementerian BUMN. Dari laporan itu, Erick pun memutuskan untuk memberhentikan Ari Askhara.
"Dari Komite Audit, ada kesaksian bahwa Harley milik saudara AA. Saya sebagai Menteri BUMN akan berhentikan Dirut Garuda," ucapnya.
Kendati begitu, masalah penyelundupan motor Harley oleh Ari Askhara sejatinya bukan kasus pertama yang membuat citra perusahaan tercoreng. Sebelumnya, beberapa bos Garuda Indonesia juga pernah menurunkan citra perusahaan.
Kasus Manipulasi Laporan KeuanganKasus ini muncul saat perusahaan dinahkodai oleh Ari Askhara. Semua bermula dari penolakan dua komisaris Garuda Indonesia, Chairal Tanjung dan Dony Oskaria, dalam pengesahan laporan keuangan perusahaan periode 2018.
Keduanya menolak karena tak setuju bila transaksi kerja sama penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan dengan PT Mahata Aero Teknologi yang merupakan piutang masuk ke pos pendapatan dan sudah dibukukan oleh perusahaan. Alhasil, perusahaan negara itu berhasil membalikkan kerugian pada 2017 menjadi laba bersih US$809 ribu pada 2018.
Dari kasus itu, Kemenkeu dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan penyelidikan terhadap laporan keuangan tersebut. Hasilnya, laporan dianggap tidak sah karena tidak sesuai dengan standar pelaporan dan akuntansi.
Kemenkeu pun memberikan sanksi kepada perusahaan agar melakukan pembetulan laporan keuangan. Sementara OJK memberi denda senilai Rp100 juta kepada masing-masing komisaris dan direksi secara kolektif.
Kasus Suap Pengadaan Mesin PesawatKasus ini menjerat Emirsyah Satar, mantan direktur utama maskapai pelat merah itu. Kasus itu muncul atas suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat Airbud SAS dan Rolls Royce PLC ketika ia masih menjabat.
Suap diberikan kepada Emir oleh Rolls Royce dalan pengaadan 50 mesin pesawat tipe Airbus A330-300 untuk Garudan Indonesia beberapa tahun yang lalu. Kemudian, Emir juga ditetapkan menjadi tersangka Tindakan Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Penetapan tersangka juga menjerat Beneficial Owner Connaught International Pte. Ltd Soetikno Soedarjo. Soetikno diduga memberi uang senilai Rp5,79 miliar untuk pembayaran rumah di Pondok Indah, US$680 ribu dan 1,02 juta euro yang dikirim ke rekening perushaan milik Emir di Singapura serta 1,2 juta dolar Singapura untuk pelunasan apartemen milik Emir di Negeri Singa.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja menyelesaikan penyidikan atas kasus Emir. Rencananya, kasus ini akan diteruskan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
[Gambas:Video CNN]Kasus Pembunuhan Aktivis Munir Kasus ini menjerat Indra Setiawan, direktur utama Garuda Indonesia periode 2002-2005. Indra bahkan sudah selesai menjalani vonis hukum penjara selama 1,5 tahun.
Ia mendapat hukuman itu karena dianggap menjadi pihak yang memberi bantuan kepada Pollycarpus, pembunuh aktivis HAM Munir. Bantuan itu sengaja diberikan dengan menugaskan Pollycarpus menjadi staf perbantuan perusahaan dalam penerbangan bersama Munir.
(uli/sfr)