Sementara itu, sejumlah
BUMN yang disarankan untuk dibubarkan, yakni Kertas Leces, Industri Gelas, Industri Sandang Nusantara, Kertas Kraft Aceh, dan Survai Udara Penas. Alasan pembubaran, mari bahas satu persatu BUMN tersebut.
Kertas Leces, perusahaan pelat merah produsen kertas yang berbasis di Leces, Probolinggo, merupakan pabrik kertas tertua kedua di Indonesia yang berdiri pada 1939 silam. Namun, pada 25 September 2018 perusahaan telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Surabaya.
Sebelum dinyatakan pailit, sebetulnya sejak 2014 lalu, Kertas Leces telah mengajukan PKPU atas total tagihan utang yang mencapai Rp2,12 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian, Industri Gelas atau Iglas yang dinilai Erick Thohir sendiri sudah tidak sehat. Perusahaan yang bergerak di bidang pembuatan kemasan gelas, khususnya botol ini masuk sebagai salah satu BUMN asuhan PPA. Perusahaan terus merugi. Pada 2018, angka kerugian mencapai Rp84,61 miliar.
Iglas sendiri telah berdiri sejak Oktober 1956 dan berkantor pusat di Gresik, Jawa Timur. Perusahaan sempat berjaya dan merajai pangsa pasar kemasan berbasis gelas. Bahkan, Iglas pernah memasok kebutuhan botol Coca-Cola Amatil Indonesia (CCAI). Akan tetapi, bisnis mulai redup ketika Coca-Cola menggantikan kemasan botol pada kemasan plastik.
Lalu, Industri Sandang Nusantara, perusahaan tekstil milik negara yang berkantor di Bekasi, Jawa Barat. Pada 2017 lalu, Aloysius Kiik Ro yang masih menjabat sebagai Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN menyebut akan melakukan restrukturisasi bagi perusahaan BUMN sakit, termasuk di dalamnya Industri Sandang Nusantara.
Sementara, Kertas Kraft Aceh juga tengah dalam kondisi 'hidup segan mati tak mau'. Sejak 2007 silam, operasional perusahaan terkendala akibat terhentinya pasokan bahan baku. Hingga saat ini, pabrik kertas yang berada di zona industri Lhokseumawe, Aceh, itu belum kembali beroperasi.
Saat ini, perusahaan masih berada dalam proses restrukturisasi atau penyehatan oleh PPA. Data terakhir yang dirilis Kementerian BUMN pada 2012-2015 mencatat perusahaan mengalami kerugian Rp354 miliar. Pada akhir 2018 lalu, kerugian perseroan tembus Rp75 miliar.
Terakhir, Survai Udara Penas yang didirikan pada 1992 dan bergerak di bidang penyedia foto udara, survei geofisika, profil laser dan radar, pemetaan, dan sewa pesawat terbang untuk mendukung perencanaan pembangunan, sistem informasi geografis (GIS), serta teknik rancang bangun survai.
Pada 2012, Kementerian BUMN memberikan kuasa dengan hak substitusi kepada PPA untuk melakukan restrukturisasi dan revitalisasi pada Survei Udara Penas lantaran perusahaan terus merugi.
Data terakhir yang dipublikasikan Kementerian BUMN pada 2012-2016 menunjukkan perusahaan selalu merugi pada periode tersebut. Total ekuitas perusahaan bahkan tercatat selalu negatif.
Penas tercatat merugi Rp6 miliar pada 2012, Rp20 miliar pada 2013, Rp22 miliar pada 2014, Rp13 miliar pada 2015, dan Rp19 miliar pada 2016. Sementara ekuitas perusahaan tercatat minus Rp16 miliar pada 2012, Rp36 miliar pada 2013, Rp69 miliar pada 2014, Rp97 miliar pada 2016, dan Rp115 miliar pada akhir 2016.
Meski merugi, perseroan ditunjuk menjadi induk holding BUMN penerbangan karena 100 persen saham perusahaan dimiliki oleh pemerintah. Penunjukkan Penas sebagai induk holding tercantum dalam surat Menteri BUMN kala itu, Rini Soemarno, kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani tentang Rancangan Peraturan Pemerintah dan Kajian Pembentukan Holding BUMN Sarana dan Prasarana Perhubungan Udara Surat tertanggal 25 Maret 2019.
Selain nama BUMN di atas, terdapat BUMN lain yang masuk dalam rencana restrukturisasi Kementerian BUMN lantaran kerugian menahun sebagai disinggung Aloysius pada 2017 lalu. BUMN tersebut meliputi PT Djakarta Lioyd (Persero), PT Istaka Karya (Persero), PT Varuna Tirta Prakarsya (Persero), dan PT Primissima (Persero).
(ulf/bir)