Jakarta, CNN Indonesia --
Pengusaha moda transportasi
bus menolak permintaan pemerintah untuk menaikkan tarif perjalanan kepada penumpang di tengah penyebaran pandemi
virus corona atau covid-19. Alih-alih menaikkan tarif, pengusaha meminta pemerintah langsung mengeluarkan larangan mudik secara tegas.
Permintaan ini disampaikan oleh pengusaha bus yang tergabung dalam Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI). Pasalnya, kenaikan tarif perjalanan bus bukan solusi yang menguntungkan bagi perusahaan dan penumpang, melainkan hanya mengurangi beban kewajiban pemerintah.
"Pemerintah seharusnya tegas saja, tidak boleh mudik, titik. Kalau begini, pemerintah seperti mau mengelak dari satu sisi, dikasih ke sisi lain," ucap Ketua Umum IPOMI Kurnia Lesani kepada
CNNIndonesia.com, Senin (6/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat ini, pemerintah sejatinya tidak mengeluarkan larangan mudik. Mudik masih diperbolehkan asal masyarakat tetap menjaga jarak dan melakukan karantina mandiri selama 14 hari setelah sampai ke kota tujuan dan saat kembali ke kota domisili.
Khusus untuk masyarakat yang ingin mudik menggunakan bus, pemerintah meminta agar perusahaan bus menjaga jarak penumpang, misalnya yang semula berkapasitas 30 kursi, maka hanya diisi oleh 15 kursi. Lalu, pemerintah juga meminta agar tarif perjalanan dinaikkan, sehingga secara tidak langsung bisa menurunkan jumlah pemudik.
Menurut Kurnia, kebijakan ini tidak tepat.
Pertama, bila mudik tetap dibolehkan, namun tarif perjalanan bus dinaikkan, maka masyarakat akan mencari transportasi ilegal dengan harga yang lebih terjangkau.
"Saat ini saja sudah ada yang seperti itu, kemarin di Kuningan ada yang ketangkap, mudik pakai mobil Grand Max, isi 14 orang ternyata ODP semua. Nanti transportasi ilegal seperti ini akan marak," katanya.
Bila transportasi mudik ilegal seperti ini berkembang, sambungnya, maka ujungnya akan berimbas pula ke pendapatan perusahaan bus. Sebab, masyarakat tetap tidak memilih bus mereka untuk mudik ke kampung halaman.
Di sisi lain, pemerintah pun akan lebih kewalahan bila transportasi mudik ilegal marak karena pengawasan harus ditingkatkan, misalnya melalui razia atau sweeping. Risiko penularan virus corona pun diperkirakan lebih tinggi ketimbang kebijakan tegas melarang mudik.
Kedua, mudik dengan tarif perjalanan yang meningkat sejatinya tidak menjamin pendapatan perusahaan. Sebab, menurut hitung-hitungannya, kenaikan tarif seharusnya mencapai 125 persen sampai 150 persen.
Bila kenaikan hanya mencapai 100 persen, maka tidak akan menutup biaya operasional perusahaan karena di sisi lain, jumlah penumpang yang menuju arah balik ke ibu kota berkurang lebih tinggi.
"Kami kan PP (pulang pergi), jadi percuma tarif dari Jakarta misalnya naik 100 persen, tapi tidak ada yang kembali, padahal pakai bensin juga. Kalau mau naiknya 125-150 persen untuk menutup, tapi apa masih ada yang mau beli tiket kalau tinggi sekali kenaikannya? Misal dari Rp400 ribu jadi Rp800 ribu?" jelasnya.
Sementara banyak penumpang yang mulai 'seret' keuangannya, entah karena pendapatan berkurang, menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), hingga terancam tidak mendapat Tunjangan Hari Raya (THR). Situasi ini berbeda dengan kondisi mudik normal, di mana masyarakat justru mendapat THR dan bonus lain, sehingga kenaikan tarif jelang mudik di waktu normal cukup berkisar 60 persen hingga 70 persen saja.
"Kalau sekarang ekonomi morat-marit, daya beli sudah tidak ada, masa mau dibebankan lagi dengan kenaikan harga tiket?" imbuhnya.
Untuk itu, Kurnia meminta pemerintah langsung mengeluarkan pengumuman larangan mudik saja. Sementara dampak bagi pengusaha, supir, hingga kernet diredam dengan berbagai kompensasi dengan relaksasi dan bantuan sosial.
Asosiasi pun, katanya, sudah mengkomunikasikan hal tersebut kepada Kementerian Perhubungan dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Namun, belum merasakan dampaknya.
Misalnya, relaksasi tunda bayar cicilan kredit bank dan pembiayaan
multifinance. Lalu, diskon pungutan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Kemudian, penundaan pembayaran iuran kepesertaan BPJS Kesehatan dan BP Jamsostek. Tak ketinggalan, bantuan langsung kepada pekerja yang terimbas pengurangan jam kerja selama penyebaran corona.
"Semuanya sudah kami diskusikan, ajukan, tapi belum ada yang terealisasi. Bahkan, relaksasi yang diumumkan presiden juga belum ada dari bank dan pembiayaan, ya kami pahami, tapi tolong disegerakan," ujarnya.
Tarif Belum Turun Di sisi lain, meski pemerintah sudah mengumumkan wacana kenaikan tarif perjalanan, namun belum ada kenaikan di agen perjalanan. Arif, seorang pegawai agen perjalanan PO Bus Santoso di kawasan Jakarta Selatan mengaku masih menjual tiket dengan tarif normal.
"Tapi sekarang cuma ada Jakarta-Magelang saja, pukul 15.00 nanti, itu harganya masih Rp175 ribu per penumpang. Tujuan lain kami oper ke tempat lain, misal Garut itu ada beberapa bus masih operasi dari Kampung Rambutan," katanya.
Begitu pula dengan tiket perjalanan yang dijual di agen dalam jaringan, seperti Traveloka. Sejumlah tiket perjalanan ke berbagai rute tetap ditawarkan kepada masyarakat dengan harga yang cenderung normal.
Misalnya, bus Pahala Kencana menawarkan perjalanan ke Semarang dari beberapa titik, seperti Terminal Grogol, Terminal Kalideres, Terminal Poris Plawad, dan Terminal Bus Terpadu Pulo Gebang. Tarif perjalanan dibanderol di kisaran Rp180 ribu per penumpang untuk kelas ekonomi dan Rp320 ribu per penumpang untuk kelas eksekutif pada keberangkatan 22 April 2020.
Begitu pula dengan bus Lorena kelas eksekutif menawarkan harga tiket Rp310 ribu per penumpang untuk keberangkatan dari Terminal Poris Polawad dan Terminal Kampung Rambutan pada tanggal yang sama. Rute lain, misalnya Jakarta-Yogyakarta dibanderol dengan tarif perjalanan dari kisaran Rp135 ribu sampai Rp288 ribu per penumpang.
Pendapatan TurunKurnia mencatat pendapatan perusahaan bus sudah turun sekitar 75 persen sejak virus corona masuk ke Indonesia. Padahal, para perusahaan bus berharap pendapatan bisa kembali meningkat pada tahun ini sejalan dengan percepatan pembangunan jalan tol dari pemerintah.
Ia mencatat pendapatan perusahaan bus sejatinya meningkat 15 persen pada 2017. Lalu, naik menjadi 20 persen pada 2018 dan 30 persen pada 2019.
"Harapannya tahun ini bisa lebih dari 30 persen, tapi pasti minus tahun ini karena sekarang saja sudah turun jauh. Okupansi juga hanya 30 persen sampai 40 persen pada bulan lalu, nantinya akan lebih turun lagi," jelasnya.
Menurut catatannya, penurunan pendapatan sudah terjadi sejak Januari lalu sekitar 40 persen. Namun, semula ia menduga hanya karena
low season karena didominasi oleh penurunan pendapatan bus wisata.
Nyatanya, penurunan terus meningkat pada Februari dan Maret. Dampaknya, perusahaan bus harus mengurangi jadwal rotasi supir dan kernet, sehingga pendapatan mereka pun berkurang.
Sebagai gambaran, misal seorang supir melakukan perjalanan Jakarta-Yogyakarta PP dengan durasi tiga hari. Sekali perjalanan mereka bisa mendapat pendapatan Rp200 ribu sampai Rp300 ribu di luar makan dan bonus.
Artinya, dalam sebulan, supir bisa melakukan 15 kali perjalanan, sehingga pendapatan yang bisa dikantongi mencapai Rp3 juta sampai Rp4,5 juta. Namun sekarang, supir setidaknya hanya mendapatkan tiga sampai empat PP sebulan, sehingga pendapatan hanya sekitar 20 persen sampai 25 persen per bulan.
"Tapi sejauh ini belum ada yang kami PHK, kami akali dengan rotasi ini. Untuk THR pun mereka bisa saja ditunda, tapi tergantung kebijakan manajemen masing-masing perusahaan," ungkapnya.
[Gambas:Video CNN] (uli/age)