Jakarta, CNN Indonesia -- The Economist Intelligence Unit memperkirakan perekonomian
Korea Utara akan terkontraksi pada tahun ini akibat tekanan pandemi
virus corona atau
Covid-19 dan tingginya gengsi negara tersebut. Hal ini tercermin dari kerasnya kebijakan bilateral Korea Utara kepada negara-negara lain.
Tekanan juga datang dari bantahan negara tersebut atas kasus corona. Dari sisi tekanan pandemi corona, Korea Utara menjadi negara pertama di dunia yang mengumumkan penutupan akses wilayah dengan menangguhkan penerbangan dari China dan Rusia setelah virus corona mewabah dari Negeri Tirai Bambu tersebut.
Bahkan penutupan dilakukan sehari sebelum China mengunci Kota Wuhan, tempat asal virus berkembang, tepatnya mulai 21 Januari 2020. "Pembekuan arus perdagangan dan pariwisata memberikan tekanan pada ekonomi Korea Utara," tulis The Economist di situs resmi, dikutip Kamis (30/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
The Economist mengutip data Kementerian Perdagangan China yang menunjukkan bahwa setidaknya ekspor Korea Utara ke China turun 71,9 persen menjadi US$10,7 juta secara tahunan pada Januari-Februari 2020 akibat masalah tersebut.
Realisasi ini menjadi yang terburuk sejak membaiknya hubungan perdagangan bilateral kedua negara pada 2018 lalu. Saat ini, kapal-kapal yang biasa mengangkut ekspor ke China hanya menganggur di pelabuhan.
Berdasarkan pantauan satelit pertahanan dan keamanan Inggris, Royal United Services Institute pada 3 Maret 2020, tercatat ada 139 kapal yang berdiam di Nampo, pelabuhan utama negara itu. Jumlah itu meningkat dari sebelumnya yang mencapai 50 kapal.
Tak hanya ekspor, aktivitas impor pun meredup di negara pimpinan Kim Jong-un itu. Hal ini tercermin dari penurunan produksi pertanian Korea Utara akibat terbatasnya akses impor pupuk dan alat pertanian.
"Karantina massal kemungkinan telah mengganggu musim tanam," mereka.
[Gambas:Video CNN]Pertumbuhan produksi industri juga negatif. Begitu pula dengan konsumsi swasta yang menurun akibat kenaikan harga dan keterbatasan pasokan. Masyarakat Korea Utara mulai mengurangi pengeluaran konsumsi yang tidak penting karena penurunan pendapatan.
"Kombinasi penurunan ekspor, konsumsi swasta yang tertekan dan produksi yang terganggu kemungkinan akan mendorong PDB (pertumbuhan ekonomi) riil menjadi kontraksi pada 2020," ungkap mereka.
Kekhawatiran lain, kekuasaan pemerintah yang terlalu ekstrem akan membuat negara semakin autarki dan menghilangkan indikator kinerja ekonomi dalam jangka pendek. Hal ini dapat mengancam stabilitas politik di Korea Utara pada tahun ini, kecuali ada perkembangan dari kabar meninggalnya Kim Jong-un.
Di sisi lain, ada gengsi besar dari pemerintah Korea Utara. The Economist menulis bahwa Korea Utara siap beralih ke kebijakan luar negeri yang jauh lebih keras dalam menanggapi ancaman pandemi corona dan tekanan ekonomi karena tidak ingin menunjukkan kelemahan dalam krisis.
Tetangga Korea Selatan itu bahkan bersikeras tidak memiliki kasus positif virus corona, meski tetap menerapkan kebijakan karantina di dalam negeri sejak penutupan akses. Masalahnya, negara itu justru kekurangan pengujian virus dan peralatan medis yang memadai.
"Korea Utara berusaha menyampaikan kepada dunia luar bahwa itu (kebijakan) kemandirian dan tidak perlu mencari hubungan yang lebih baik dengan Korea Selatan dan AS," jelasnya.
Bahkan, pemerintah tetap melangsungkan uji coba rudal seolah ingin menunjukkan kepada dunia bahwa mereka tidak menurunkan tingkat ketahanan dan keamanannya di tengah pandemi corona. Korea Utara justru ingin mengingatkan dunia akan ancaman militernya.
Sikap itu tetap ditunjukkan Korea Utara, meski Departemen Luar Negeri AS telah menyatakan kesediaan mereka untuk membantu negara tersebut dalam menghadapi pandemi corona. Kemungkinan kerja sama diplomatik antara Korea Utara dan AS pada tahun ini pun terancam urung dilakukan.
(uli/agt)