ANALISIS

BLT, Corona, Antara 'Ganjal Perut' dan Rancu Data Penerima

Yuli Yanna Fauzie | CNN Indonesia
Selasa, 05 Mei 2020 08:37 WIB
Senilai 3,7 juta di tukarkan dengan sekitar Rp 2 juta untuk pecahan Rp 20.000, Rp 1 juta untuk pecahan Rp 10.000, Rp 500 ribu untuk pecahan Rp 5.000 dan Rp 200 ribu untuk pecahan Rp 2.000. (CNN Indonesia/ Hesti Rika)
Penyaluran BLT yang dilakukan tanpa data penerima yang jelas berpotensi salah sasaran. Ilustrasi. (CNN Indonesia/Hesti Rika).
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah mulai menyalurkan berbagai insentif jaring pengaman sosial (social safety net) kepada masyarakat terdampak tekanan pandemi virus corona atau Covid-19.

Penyaluran tidak hanya pada program rutin, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), namun juga baru. Program tersebut berbentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari Kementerian Sosial dan Kementerian Desa PDTT.

Sebagai gambaran, BRI selaku bank penyalur BLT Kemensos setidaknya sudah menyalurkan dana senilai Rp316 miliar kepada 528.320 Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Lalu dana BLT yang bersumber dari Dana Desa sudah mengalir sekitar Rp70 miliar ke masyarakat yang terdampak tekanan corona di 8.157 desa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ekonom dari Perbanas Institute Piter Abdullah Redjalam melihat penyaluran BLT mau tidak mau memang harus diberikan secepat mungkin kepada masyarakat terdampak. Bantuan diharapkan bisa menjadi 'pengganjal perut' rakyat.

Tapi masalahnya, penyaluran BLT  belakangan ini sejatinya masih banyak masalah. Terutama, basis data masyarakat yang berhak menerima.

Ia menilai basis data yang dimiliki pemerintah sekarang ini lemah. Masalah tersebut berpotensi membuat bantuan yang disalurkan salah sasaran.

Masalah data tersebut katanya, terutama terjadi pada bagi program BLT yang baru dijalankan pemerintah saat virus corona mewabah.

"Ini memang sebuah dilema antara cepat dan tepat. Masalah pada kondisi saat ini, sulit mengejar keduanya secara bersamaan apalagi programnya cukup banyak," ungkap Piter kepada CNNIndonesia.com, Senin (4/5).

Piter menjelaskan BLT dari pemerintah rawan tidak tepat sasaran karena basis data tidak seperti PKH yang sudah bertahun-tahun dijalankan. PKH dijalankan menggunakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang dikelola oleh Kemensos.

Sementara program BLT yang baru justru hanya disalurkan dengan syarat; penerima merupakan masyarakat terdampak dan tidak menerima bansos dari program yang sudah ada seperti PKH. Menurut Piter, kriteria ini benar.

Tapi, soal definisi masyarakat terdampak, itu yang masih rancu. Ketiadaan definisi yang jelas itu berpotensi membuat masyarakat yang seharusnya berhak menerima tapi malah terlupakan, begitu juga sebaliknya. 

[Gambas:Video CNN]
"Yang saya dengar akhirnya menggunakan data berdasarkan pemberian subsidi listrik, jadi tidak ada data yang terintegrasikan untuk berbagai program bansos ini. Acuan data subsidi listrik tidak menjamin ketepatsasaran," ucapnya.

Masalah lain yang dikhawatirkan adalah akan muncul masyarakat yang menjadi penerima ganda. Misalnya, mungkin tidak menerima PKH, tapi mendapat BLT Kemensos, Kemendes, dan bahkan Kartu Prakerja yang kriteria penerimanya berdasarkan sistem acak.

"Jadi satu orang bisa mendapat bantuan double. Tujuannya membantu tapi jadi tidak tepat sasaran dan ada pihak yang jadi belum dapat," imbuhnya.

Di sisi lain, dilemanya, tidak mungkin pula membiarkan pemerintah mengintergrasikan data dengan sistem pendataan baru. Sebab, kondisinya sudah 'mepet', masyarakat sudah tertekan dan perlu segera diberi bantalan agar tidak semakin terperosok ke jurang kemiskinan.

"Maka sekarang mau tidak mau harus dikorbankan jadi cepat dulu, ketidaktepatan jadi sebuah keniscayaan," ujarnya.

Untuk itu, Piter mengatakan pemerintah harus terus memantau penyaluran BLT agar lebih tepat sasaran. Selain itu, lakukan pula evaluasi dan pengintegrasian data secara pararel, meski di tengah pandemi corona ini.

Khususnya untuk program baru, seperti BLT dari Kemensos dan Kemendes. Begitu pula dengan program Kartu Prakerja yang kriteria penerimanya bahkan diberi secara acak.

"Evaluasinya lebih baik ke depan jalankan dengan satu sumber saluran yang sudah diperhitungkan saja karena program yang baru seperti bansos (BLT) dan Kartu Prakerja ini tidak ada data sama sekali, verifikasi online pun sulit tepat sasaran," jelasnya.

Sementara Ekonom Universitas Indonesia Telisa Aulia Falianty menambahkan, lebih baik pemerintah menyalurkan bansos dengan sistem membuka dapur umum dan pemberian sembako di daerah kumuh atau sudah diketahui penuh masyarakat miskin yang perlu diprioritaskan.

"Dapur umum di lumbung masyarakat miskin bisa diutamakan karena akan terlihat jelas bahwa mereka masyarakat yang benar-benar terdampak. Bisa juga memberi sembako dengan sumber APBD, swadaya masyarakat, lembaga zakat," katanya.

Sebab, ia  ragu dengan DTKS untuk dijadikan acuan pemberian bansos bagi masyarakat miskin yang hidupnya kian tertekan akibat pandemi corona. Sementara penyaluran dengan sistem verifikasi online dan terbilang baru sangat tidak menjanjikan ketepatsasaran.

Toh banyak pekerja dari daerah yang merantau di ibu kota dan kota besar lain, yang tidak memiliki KTP domisil, namun mereka tidak bisa mendapat bantuan karena terganjal sistem administrasi. Padahal, pulang kampung pun mereka tidak bisa karena ada larangan mudik, maka perlu segera disasar.

(agt)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER