Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah
warga kaget lantaran tagihan
listrik yang harus dibayar untuk periode April 2020 melonjak dari bulan-bulan sebelumnya. Tak tanggung-tanggung, kenaikannya mencapai 50 persen sampai 100 persen.
Salah satu keluhan itu muncul dari Rizka Annisa. Awalnya ia tak terlalu menghiraukan jumlah tagihan listrik periode April 2020.
Namun, ketika melihat banyak keluhan di media sosial terkait lonjakan tagihan listrik, Rizka pun langsung mengecek lagi tagihan listrik rumahnya. Benar saja, jumlah tagihannya naik sampai Rp300 ribu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Akhirnya saya cek tagihan listrik, dan ternyata naik dengan perkiraan Rp200 ribu hingga Rp300 ribu. Padahal pemakaian sama saja," ungkapnya kepada CNNIndonesia.com, dikutip Kamis (7/5).
Lonjakan tagihan listrik yang mencapai lebih dari 50 persen ini terbilang aneh. Masalahnya, PT PLN (Persero) menyebut konsumsi listrik rumah tangga di DKI Jakarta hanya naik 6 persen.
General Manager PLN UID Jakarta Raya Ikhsan Asaad mengatakan, kenaikan listrik rumah tangga tak sebanding dengan pendapatan perusahaan yang hilang karena penutupan pusat perbelanjaan dalam satu bulan terakhir.
Pasalnya, konsumsi listrik di pusat perbelanjaan anjlok hingga 60 persen.
Secara keseluruhan, konsumsi listrik di ibu kota anjlok 20 persen pada April 2020 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Penyebab utamanya karena konsumsi listrik pusat perbelanjaan turun signifikan di tengah penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Misbah Hasan menyatakan perhitungan atas tagihan listrik periode April 2020 bisa saja keliru.
Sebab, PLN menerapkan skema perhitungan berbeda karena sedang menerapkan skema bekerja dari rumah (
work from home) bagi karyawannya.
Saat ini, petugas tak lagi datang ke rumah untuk mencatat stand meter. Sebagai gantinya, pelanggan diminta untuk mengirimkan data stand meter melalui WhatsApp. Nantinya, data itu digunakan untuk menghitung tagihan listrik pelanggan.
Jika pelanggan tak mengirimkan stand meter kepada PLN, maka perhitungan tagihan listrik akan berdasarkan rata-rata pemakaian listrik selama tiga bulan terakhir.
Tak heran, beberapa tagihan listrik masyarakat membengkak meski penggunaannya tak berubah dibandingkan sebelum penerapan work from home.
"Pencatatan semacam ini menurut saya tidak benar dan cenderung mengagetkan masyarakat. Ini membebani masyarakat," ujar Misbah.
Seharusnya, kata Misbah, PLN bisa lebih transparan dalam mencatat tagihan listrik pelanggan. Pencatatan yang berdasarkan rata-rata pemakaian tiga bulan terakhir dinilai Misbah memiliki potensi penyimpangan yang tinggi karena tidak transparan.
Oleh karena itu, masyarakat bisa mengadu ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Ombudsman dengan pola pencatatan PLN sekarang. Sebab, bisa jadi jumlah tagihan listrik yang harus dibayar tak sesuai dengan pemakaian konsumen.
"Menurut saya masyarakat yang merasa dirugikan dengan sistem pencatatan PLN ini bisa melaporkan ke Ombudsman dan YLKI. Inilah yang harus diusut, kalau perlu tidak harus menunggu laporan dari masyarakat dulu," ucap Misbah.
Petugas melakukan pengecekan jaringan ilegal di salah satu tiang listrik di Area operasional Menteng, Jakarta. (CNNIndonesia/Adhi Wicaksono) |
Kurang komunikasiSementara, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan kehebohan warga tak seharusnya terjadi jika PLN menjalin komunikasi yang baik kepada pelanggannya terkait perubahan skema pencatatan stand meter. Dia bilang banyak masyarakat yang belum tahu mengenai skema baru tersebut.
"Informasi perhitungan stand meter ini tidak 100 persen sampai ke konsumen, sehingga konsumen tidak mengerti imbauan dan formulasi tersebut," ungkap Tulus.
[Gambas:Video CNN]Di sisi lain, Tulus juga tak menampik bila tagihan listrik akan naik selama pelanggan mengerjakan pekerjaannya di rumah. Namun, bukan berarti PLN diam saja dengan tak mengingatkan masyarakat mengenai potensi lonjakan penggunaan listrik di tengah pandemi ini.
"Salah satu efek
work from home adalah naiknya konsumsi listrik. Klimaksnya tagihan naik. Seharusnya PLN memberikan edukasi dan informasi bahwa selama work from home konsumen seharusnya berhemat listrik," ujar Tulus.
Intinya, sambung Tulus, komunikasi publik PLN kepada konsumen selama penyebaran virus corona dianggap sangat minim. Tak heran, masih banyak masyarakat yang bingung dengan pola pencatatan stand meter PLN.
"Sehingga menimbulkan shock pada konsumen," imbuh Tulus.
Oleh karena itu, Tulus meminta agar manajemen PLN lebih responsif dalam menangani keluhan dan pengaduan konsumen mengenai lonjakan tagihan listrik. Kalau bisa, PLN membuat posko pengaduan di masing-masing area pelayanan.
Dia juga mengingatkan konsumen untuk tak pasrah jika tagihan listrik tiba-tiba meroket. Apalagi, kalau kenaikannya mencapai 75 persen sampai 100 persen.
"Sebelum mengadu ke PLN, sebaiknya konsumen mengecek dahulu posisi pemakaian kWh bulan terakhir denga pemakaian kWh bulan sebelumnya," jelas Tulus.
Antrean keluhanSementara itu, Executive Vice President QAS Kantor Pusat PLN Hikmat Derajat mengatakan, pihaknya mendapatkan ratusan keluhan pelanggan akibat lonjakan tagihan listrik periode April 2020. Dalam sehari, PLN menerima hampir 900 keluhan lewat pelayanan telepon dan berbagai platform sosial media.
"Untuk keluhan secara nasional, khususnya dalam lonjakan konsumsi pemakaian listrik di masyarakat rata-rata per hari secara nasional ada 889 kasus yang dicatatkan hampir 900 pelanggan," ujarnya.
Kemudian, jumlah pengaduan yang masuk khusus untuk kawasan Unit Induk Distribusi (UID) Jakarta telah mencapai 2.900 kasus pengaduan. Namun, perusahaan sudah menyelesaikan 2.200 kasus dan tengah berkomunikasi dengan 700 pelanggan lainnya.
Sebelumnya, Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ratna Juwita mensinyalir lonjakan tagihan listrik terjadi karena PLN melakukan subsidi silang bagi pelanggan subsidi yang mendapatkan insentif dari pemerintah.
"Dengan pemakaian standar tagihan abonemen listrik naik, bahkan ini viral di media sosial mereka memiliki asumsi jangan-jangan ini ada tindakan subsidi silang dari PLN," ucap Ratna.
Diketahui, pemerintah menanggung 100 persen biaya listrik golongan 450 VA dan 50 persen biaya listrik golongan 900 VA hingga tiga bulan ke depan. Hal itu dilakukan untuk meringankan beban masyarakat kurang mampu di tengah wabah virus corona.
Faktor Work from HomeNamun, Executive Vice President Corporate Communication & CSR PLN I Made Suprateka menepis tudingan sejumlah pihak yang menyebut PLN melakukan subsidi silang di tengah relaksasi tagihan listrik bagi para pelanggan rumah tangga 450 VA dan 900 VA subsidi.
Made mengakui kenaikan tagihan listrik pada April 2020 disebabkan perubahan mekanisme perhitungan tagihan listrik. Alasan lainnya, yaitu naiknya konsumsi listrik selama penerapan work from home.
Dia menyatakan PLN menunda pencatatan dan pemeriksaan meteran listrik pelanggan demi mencegah penyebaran wabah virus corona. Alhasil, tagihan Maret diambil dari rata-rata konsumsi 3 bulan sebelumnya yaitu Desember 2019 dan Januari-Februari 2020.
Maka itu, penggunaan berlebih pada Maret 2020 dimasukkan dalam tagihan periode April 2020. Ini artinya, sebagian tagihan Maret 2020 dilimpahkan (carry over) ke penggunaan April 2020.
"Sehingga tagihan kWh terasa 200 kali lipat tagihannya, ini perlu kami jelaskan," terang Made.
Namun, ia memastikan tarif listrik untuk seluruh golongan pada periode April hingga Juni 2020 tidak naik. Menurutnya, tarif listrik yang dikenakan kepada pelanggan saat ini masih sama dengan tarif yang diterapkan sejak 2017 lalu.
"Kami pastikan saat ini tidak ada kenaikan listrik, harga masih tetap sama dengan periode tiga bulan sebelumnya, bahkan 2017 tarif listrik ini tidak pernah mengalami kenaikan," kata Made.
Dia merinci tarif listrik untuk tegangan rendah Rp1.467 per kwh, R-1/900 VA RTM sebesar Rp1.352/kwh, tegangan menengah sebesar Rp1.115/kwh, dan tegangan tinggi sebesar Rp 997/kWh.