Jakarta, CNN Indonesia -- Pandemi
Covid-19 mendatangkan malapetaka pada
China, negara dengan
ekonomi terbesar kedua di dunia. Pasalnya, pandemi memaksa kurang lebih 80 juta orang kehilangan pekerjaan mereka.
Akibat masalah tersebut, kompetisi lapangan kerja di China makin ketat karena terdapat 8,7 juta lulusan baru universitas di China tahun ini.
Mengutip
CNN, Senin (11/5), jumlah orang yang kehilangan pekerjaan di China sulit terdeteksi karena datanya tidak jelas. Tingkat pengangguran resmi hampir tidak bergerak melampaui 4 persen-5 persen selama bertahun-tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, data itu hanya melacak angka pengangguran di perkotaan. Pada Maret, tingkat pengangguran China tercatat sebesar 5,9 persen, sedikit lebih rendah dari rekor 6,2 persen di bulan sebelumnya.
Menurut perhitungan
CNN Business dengan menggunakan data pemerintah, angka itu mewakili lebih dari 27 juta orang kehilangan pekerjaan. Profesor Pusat Studi China di Universitas Cina-Hong Kong Willy Lam menuturkan jumlah pengangguran di China berpotensi dianggap remeh.
"Bersedia melaporkan data buruk itu di luar kebiasaan. Mengingat pemerintah sering memoles angka-angka, maka situasi sebenarnya bisa lebih buruk," ujarnya.
Data pengangguran tersebut tidak termasuk orang-orang di pedesaan atau 290 juta pekerja migran di bidang konstruksi, manufaktur, dan kegiatan-kegiatan penting lainnya yang bergaji rendah. Ekonom di Akademi Ilmu Sosial China Zhang Bin mengatakan jika para migran itu dimasukkan, maka sebanyak 80 juta orang keluar dari pekerjaan pada akhir Maret.
Di sisi lain, para ahli lain menilai angka 80 juta orang tersebut lebih dekat dengan kenyataan. Itu berarti, hampir 10 persen pekerja di China kehilangan pekerjaan mereka.
[Gambas:Video CNN]"Guncangan Covid-19 terhadap pasar kerja belum pernah terjadi sebelumnya, dari sisi skala dana waktu" tulis Wei Yao dan Michelle Lam dalam laporan penelitian pekan lalu.
Kementerian Perdagangan tidak menanggapi permintaan konfirmasi dari CNN Business terkait data tersebut. Bulan lalu, juru bicara Biro Statistik Nasional China mengakui bahwa pasar tenaga kerja berada di bawah banyak tekanan. Namun, dia bersikeras secara keseluruhan lapangan kerja dalam kondisi stabil.
"Meskipun virus corona telah berdampak parah pada pekerjaan, tidak ada PHK besar-besaran di negara ini," kata Mao Shengyong pada konferensi pers.
Tak berhenti di situ, China juga harus bersiap menghadapi guncangan tambahan dalam beberapa bulan mendatang. Pasalnya, China akan menghadapi sekitar 8,7 juta lulusan baru perguruan tinggi tahun ini. Jumlah lulusan itu menciptakan lebih besar kompetisi di lapangan kerja.
Pemerintah China sadar bahwa gelombang pencari kerja baru membayangi. Pada pekan ini, pemerintah meluncurkan rencana untuk membantu lulusan baru mencari pekerjaan sebagai guru dan menciptakan posisi
grass root lainnya. Proyek ini juga mencakup proposal untuk memperluas pendaftaran bagi program pascasarjana.
Namun, pemerintah masih memiliki tugas berat di depan yakni membantu karyawan yang kehilangan pekerjaan mereka.
"Kekhawatiran khusus adalah bahwa jaring pengaman tidak menangkap kelompok yang paling rentan," tulis Mark Williams, kepala ekonom Asia untuk Capital Economics.
Di sisi lain, ekonomi masih membutuhkan jalan panjang untuk pulih. Pertumbuhan ekonomi China pada kuartal I 2020 tercatat minus 6,8 persen, atau terlemah sejak 1976.
Pesan terbaru dari pejabat pemerintah menjelaskan bahwa pengangguran adalah masalah besar. Profesor Universitas Cina di Hong Kong Lam menuturkan membuat orang kembali bekerja adalah hal penting. Pihak berwenang khawatir gelombang pengangguran dapat menyebabkan keresahan sosial.
"Kekhawatiran terbesar China bukanlah pertumbuhan PDB, tetapi lapangan kerja," katanya.
(ulf/agt)