Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga
Center for Social Political Economic and Law Studies (CESPELS) merilis hasil survei terkait kemampuan
ekonomi masyarakat selama bertahan di masa pandemi
virus corona (Covid-19).
Dalam rilisnya, survei CESPELS menunjukkan, mayoritas masyarakat atau 69,4 persen responden mengaku kondisi ekonominya hanya mampu bertahan tak kurang dari 2 bulan ke depan.
"Ini artinya kemampuan ekonomi masyarakat secara umum hanya sampai pada Juli 2020, setelah itu mereka tidak memiliki tabungan lagi," ujar Tim Peneliti CESPELS Ubedilah Badrun dalam konferensi pers online, Senin (11/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ubedillah menjelaskan, mayoritas responden dalam survei yang dilakukan lembaganya merupakan masyarakat berpendidikan tinggi dengan tingkat ekonomi menengah ke atas.
Dengan demikian, hasil survei itu menunjukkan bahwa ada banyak masyarakat dengan kelompok ekonomi menengah yang akan jatuh ke kelompok masyarakat menengah ke bawah.
"Artinya apa, fenomena kelas menengah yang merasa tidak cukup uangnya sampai 2 bulan ke depan, ini dalam dua bulan ke depan akan terjadi pergeseran, penurunan kelas sosial," jelas Ubedillah.
Kendati demikian, Badrun menilai saat ini kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah justru lebih berpihak kelompok ekonomi masyarakat di bawah (
lower class). Padahal, dalam dua bulan ke depan ada kelompok masyarakat menengah yang berpotensi anjlok.
Ia mengingatkan pemerintah agar kondisi itu juga bisa segera diantisipasi. Ia mengingatkan, pemerintah perlu membuat kebijakan antisipatif di sektor ekonomi, terutama terkait ekonomi masyarakat menengah yang berpotensi jatuh kurang dari dua bulan ke depan.
[Gambas:Video CNN]Survei CESPELS diambil dari 1.053 responden atau masyarakat di 20 provinsi di Indonesia selama kurun waktu 21 April hingga 3 Mei lalu. Survei menggunakan sampel teknik stratified random sampling dengan margin error' kurang lebih 3 persen.
Ubedillah menyatakan responden surveinya sebagian besar merupakan masyarakat dengan kondisi sosial, ekonomi, dan pendidikan yang representatif. Hal itu kata dia terlihat dari identitas responden yang terjaring, yakni 62 persen responden merupakan masyarakat berpendidikan tinggi.
(thr/sfr)