Sri Mulyani Ungkap Biang Keladi Pemicu Aliran Modal Keluar

CNN Indonesia
Rabu, 13 Mei 2020 12:06 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) membacakan pandangan pemerintah pada Rapat Paripurna masa persidangan III 2019-2020 , di Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (12/5/2020). Dalam rapat paripurna tersebut beragendakan penyampaian Pemerintah terhadap Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM dan PPKF) RAPBN TA 2021 dan pengambilan keputusan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 atau Perppu Corona menjadi UU. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/hp.
Menkeu Sri Mulyani menyebut aliran modal keluar selama penyebaran virus corona terjadi karena investor memilih menanamkan modalnya ke emas dan dolar AS. (ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA).
Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan tekanan ekonomi akibat pandemi virus corona atau Covid-19 membuat investor pasar keuangan lebih memilih untuk memindahkan dananya ke instrumen investasi emas dan dolar AS. Sebab, kedua instrumen dianggap lebih aman untuk kondisi ekonomi saat ini.

"Investor mencari aset yang aman, memindahkan aset keuangannya ke safe-haven assets, yaitu emas dan dolar AS," ujar Sri Mulyani di Rapat Paripurna DPR, Selasa (12/5).

Hal ini, sambungnya, meningkatkan tren keluarnya arus modal asing (capital outflow) dari berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia. Di dalam negeri saja, ia mencatat jumlah capital outflow mencapai Rp145,28 triliun pada Januari-Maret 2020.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara jumlah capital outflow pada krisis keuangan 2008 hanya berkisar Rp69,9 triliun. Lalu, capital outflow pada taper tantrum 2013 sekitar Rp36 triliun.

Fenomena ini terjadi karena kekhawatiran pelaku pasar keuangan terus meningkat hingga mencatatkan sebagai yang tertinggi dalam sejarah. Sebab, jumlah kasus positif dan angka kematian terus bertambah akibat pandemi corona.

"Arus modal keluar Indonesia jauh lebih besar dibandingkan periode krisis keuangan global 2008 dan taper tantrum 2013," ucapnya.

Bendahara negara mengatakan bila kondisi ini tidak diantisipasi, maka dampaknya akan semakin menekan pasar keuangan. Misalnya, meningkatkan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) di bank dan mengganggu stabilitas sistem keuangan.

Untuk itu, pemerintah dan bank sentral di berbagai negara berbondong-bondong mengeluarkan paket stimulus ekonomi dari sisi fiskal dan moneter. Singapura, Amerika Serikat, dan Malaysia bahkan mengeluarkan stimulus ekonomi mencapai 10 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) masing-masing.

Begitu pula dengan Indonesia, pemerintah menganggarkan dana Rp405,1 triliun untuk stimulus ekonomi.

Hal ini tertuang dalam Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan yang baru saja diresmikan menjadi Undang-Undang (UU).

Dana jumbo itu akan digunakan pemerintah untuk memberi insentif kesehatan sebesar Rp75 triliun, insentif perlindungan sosial Rp110 triliun, insentif perpajakan dan KUR Rp70,1 triliun, serta insentif pembiayaan dan restrukturisasi kredit Rp150 triliun. Namun konsekuensinya, defisit anggaran akan membengkak dari 3 persen menjadi 5,07 persen. (uli/agt)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER