ANALISIS

Dana Pemulihan Ekonomi Nasional Bukan Untuk Pura-pura Sakit

Ulfa Arieza | CNN Indonesia
Rabu, 13 Mei 2020 08:47 WIB
Pekerja berjalan di trotoar Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Rabu (8/4/2020). Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Energi Provinsi DKI Jakarta mengumumkan sebanyak 30.137 pekerja terkena PHK dan 132.279 pekerja terpaksa dirumahkan untuk sementara waktu akibat lesunya ekonomi nasional karena pandemi virus Corona (COVID-19). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/foc.
Sekjen Fitra menilai pemerintah perlu selektif mengucurkan dana pemulihan ekonomi demi menghindari pengusaha yang aji mumpung sakit sebelum corona. Ilustrasi. (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto).
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah menetapkan strategi pemulihan ekonomi nasional (PEN) usai babak belur akibat pandemi virus corona. Dalam cetak biru penyehatan ekonomi yang tertuang di PP Nomor 23 Tahun 2020 itu, pemerintah menempuh empat obat, meliputi penyertaan modal negara (PMN) kepada BUMN.

Kemudian, penempatan dana khusus di bank, investasi pemerintah, termasuk penjaminan kredit secara langsung maupun melalui badan usaha yang ditunjuk.

PP tersebut memuat Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam bahan paparan Kementerian Keuangan kepada Komisi XI DPR yang didapatkan CNNIndonesia.com, dikutip Rabu (13/5), total dana APBN yang akan digunakan untuk program pemulihan ekonomi sebesar Rp491,55 triliun.

Dari jumlah tersebut, alokasi kepada sektor riil meliputi dukungan konsumsi dalam bentuk bansos dan subsidi sebesar Rp149,1 triliun. Lalu, subsidi bunga kredit dan penundaan angsuran pelaku usaha terdampak pandemi corona, termasuk imbal jasa penjaminan modal kerja UMKM sebesar Rp39,2 triliun.

Selain itu, pemerintah juga mengguyur sektor pariwisata dalam bentuk diskon tiket pesawat ke destinasi wisata dan insentif pajak hotel sebesar Rp3,8 triliun. Lebih lanjut, subsidi bunga dan bantuan uang muka bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) senilai Rp1,3 triliun, dan stimulus untuk penguatan permintaan agregat sektor pariwisata sebesar Rp25 triliun.

Namun, pemerintah hanya mengalokasikan Rp1 triliun untuk penjaminan kredit modal kerja UMKM. "Pemerintah perlu selektif, jangan sampai dana dikucurkan tanpa perhitungan, yang penting justru untuk pemulihan ekonomi itu sektor riil, UMKM, usaha mikro," ujar Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan.

Kendati demikian, saat dikonfirmasi, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani menuturkan alokasi anggaran tersebut masih akan dibicarakan di internal pemerintah. Ia juga enggan mengomentari kebenaran alokasi dana tersebut.

Misbah melanjutkan pemerintah juga masih memiliki ruang untuk meningkatkan alokasi anggaran pemulihan ekonomi kepada sektor-sektor yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Sebab, jika ditengok kembali, pemerintah menggelontorkan dana tak kalah besar kepada perusahaan pelat merah.

Kucuran dana kepada BUMN digunakan untuk pembayaran kompensasi guna menjaga keuangan BUMN strategis sebesar Rp94,23 triliun dan PMN untuk memperbaiki struktur permodalan BUMN terdampak yang menjalankan penugasan senilai Rp25,27 triliun.

Selain itu, pemerintah memberikan dana talangan (investasi) untuk modal kerja kepada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Perum Perumnas, PT Kereta Api Indonesia (Persero), Perum Bulog, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, serta PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Tak tanggung-tanggung, jumlah investasi modal kerja itu mencapai Rp32,65 triliun.

Meski belum ditetapkan, ia menilai alokasi dana pemulihan ekonomi kepada perusahaan pelat merah itu perlu ditinjau ulang. Sebab, dampak ekonomi dari penyaluran dana kepada perusahaan pelat lebih kecil dibandingkan alokasi kepada sektor yang bersinggungan langsung dengan masyarakat seperti usaha mikro.

[Gambas:Video CNN]

Penyaluran PMN misalnya, belum jelas. Ia hanya meminta pemerintah lebih selektif pada BUMN yang akan mendapatkan dana tersebut. Jangan sampai, program pemulihan ekonomi ini digunakan sebagai momentum menyuntikkan dana kepada BUMN yang sedari awal memang sudah sakit.

"Justru pelaku ekonomi riil yang seharusnya mendapatkan support pendanaan lebih dibandingkan BUMN, karena mereka ketika mendapat support dana dapat langsung digulirkan kepada anggotanya," katanya.

Memang, ia tidak menampik sejumlah BUMN strategis khususnya di sektor transportasi dan pariwisata membutuhkan dana pemulihan ekonomi. Ambil contoh, Garuda Indonesia dan KAI. Dua perusahaan transportasi pelat merah itu sangat terpukul akibat pandemi corona.

Apalagi, Garuda Indonesia memiliki utang jatuh tempo pada Juni 2020 berupa sukuk global senilai US$500 juta setara Rp7 triliun (mengacu kurs Rp14 ribu). Sementara itu, KAI sendiri sudah merugi sebesar Rp92 miliar pada Maret 2020 karena anjloknya jumlah penumpang. Arus kas perseroan pun minus sebesar Rp693 miliar pada Maret 2020.

Bila kedua BUMN ini jatuh, maka dikhawatirkan sulit untuk bangkit tanpa uluran tangan pemerintah. Imbasnya, pelayanan kepada masyarakat akan terganggu jika ekonomi kembali normal dan pandemi corona berakhir.

"Kembali ke assessment awal, apakah BUMN yang akan disuntik dana PMN ini cukup strategis tidak, sehat tidak? Jangan sampai hanya jadi peluang untuk penyimpangan," tutur Misbah.

Karenanya, ia menorehkan tiga catatan untuk pelaksanaan pemulihan ekonomi nanti. Pertama, kepemimpinan dalam pelaksanaan program. Berkaca dari penyaluran bansos kepada warga terdampak covid-19 yang dinilai cukup kacau, dia berharap koordinasi pemerintah dalam program pemulihan ekonomi ini lebih baik. Terlebih, program ini melibatkan berbagai kementerian dan lembaga.

Kedua, pemerintah perlu melakukan pengujian (assessment) kepada pelaku usaha calon penerima dana bantuan. Ini dilakukan untuk menghindari pelaku usaha yang 'aji mumpung' di tengah pandemi corona. Sederhananya, pura-pura sakit demi mendapatkan bantuan.

"Jadi, harus ditelusuri track record-nya (rekam jejak), kalau perusahaan sudah tidak sehat sebelum covid-19, menurut saya itu perlu dikesampingkan dulu," katanya.

Ketiga, pemerintah tentunya diminta untuk transparan dalam merealisasikan penggunaan dana jumbo tersebut.

Dihubungi terpisah, Ekonom sekaligus Rektor Universitas Indonesia Ari Kuncoro menilai program pemulihan ekonomi merupakan pelengkap dari stimulus fiskal yang diberikan pemerintah sebelumnya.

"Jadi PEN ini lebih ke arah sisi produksi atau penawaran, pelengkap dari stimulus fiskal untuk penguatan daya beli. Karena kalau daya beli saja, nanti kalau sudah pulih tidak ada uang produksi," jelasnya.

Ia menganggap program pemulihan ekonomi yang sudah dirancang pemerintah sudah cukup efektif. Pasalnya, program itu telah mencakup seluruh mata rantai (supply chain) ekonomi. Mulai dari pelaku usaha kecil hingga perusahaan besar sekelas BUMN.

Apalagi, dalam kondisi ini hampir semua lini terpukul. Dengan demikian, jika pemerintah ingin membangkitkan kembali ekonomi maka harus merangkul semua sektor.

"Intinya, untuk menopang daya beli, maka supply chain dari BUMN sampai yang kecil, karena seperti bentuk mata rantai kalau mau selamatkan tidak bisa satu-satu, harus sekalian," terang Ari.

Sebagai contoh, lanjutnya, Garuda Indonesia dan KAI sebagai perusahaan strategis membutuhkan dana pemulihan. Jika tidak, keduanya bisa ambruk yang mana akan lebih memberatkan pemerintah maupun masyarakat.

Ia menyarankan pemerintah memprioritaskan BUMN-BUMN strategis dalam merealisasikan program pemulihan ekonomi.

"Jadi ini survival, yang penting selamatkan dulu karena memang situasinya mereka tidak punya pendapatan. Intinya, dia dikasih uang supaya nanti kalau ekonomi mulai gerak dia masih punya tenaga," tandasya. (bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER