Jakarta, CNN Indonesia -- Lia Rahapit (26 tahun) tertegun saat mendengar meteran
listrik prabayarnya kembali berbunyi siang itu. Padahal, belum genap dua minggu ia memasukkan token pulsa listrik baru.
"Sebentar ya, saya beli token dulu. Enggak enak sama kamar sebelah. Berisik," kata Lia saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com, pekan lalu.
Tak berapa lama, ia pun memasukkan token listrik baru di meteran yang terletak di samping pintu kamarnya. Ketika nomor yang dimasukkan benar, suara pengingat pun berhenti dan lampu penanda berganti dari merah ke hijau.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia membeli token seharga Rp100.000 yang biasanya cukup untuk dua minggu. Namun, pengisian token menjadi lebih sering saat ia harus bekerja dari rumah.
Sejak akhir Maret lalu, perusahaan tempat Lia bekerja menerapkan kebijakan bekerja di rumah (
work from home/ WFH) untuk sebagian besar karyawannya. Maklum, perusahaannya bekerja di bidang media digital dan periklanan yang memungkinkan karyawannya untuk bekerja di mana saja, selama ada laptop dan jaringan internet.
Kebijakan itu sebenarnya tak dipermasalahkan oleh Lia apabila biaya kos bulanannya sudah mencakup tagihan listrik. Sayang, realitasnya tidak demikian.
Kos yang terletak di bilangan Matraman, Jakarta Timur, itu tak menanggung penggunaan listrik penghuninya. Alhasil, Lia harus merogoh kocek lebih untuk membiayai listrik berdaya 900 VA agar ia bisa tetap bekerja.
Biasanya, ia membeli token listrik senilai Rp100 ribu dua kali dalam sebulan. Jumlah itu setara 5 persen dari total gaji bulanannya. Tetapi, sejak bekerja di rumah ia harus mengisi ulang token sebanyak tiga kali.
Kebutuhan listrik Lia meningkat lantaran ia harus menyalakan laptop dan AC sepanjang hari. Belum lagi, semenjak ia bekerja dari kamar kos, ia lebih sering memasak menggunakan
rice cooker dan menyetrika baju sendiri.
"Wabah (corona) ini bikin saya takut keluar kosan. Anggap saja ongkos transportasi itu saya alihkan ke listrik," ujarnya.
Kenaikan tagihan listrik tak hanya dialami Lia, Ratna Ayu (57 tahun) juga menghadapi persoalan yang sama. Pada April lalu, tagihan listrik keluarga wanita yang sehari-hari bekerja sebagai ibu rumah tangga ini mencapai Rp446.705.
"Biasanya tak sampai Rp300 ribu (per bulan)," imbuhnya.
Namun, ia melihat kenaikan itu merupakan hal yang wajar. Sebab, suami dan anak-anaknya bekerja di rumah. Hal itu membuat penggunaan komputer, laptop, dan AC di rumahnya melonjak.
"Pengennya sih pemerintah baik, tarif listrik turun, atau paling tidak beri subsidi," kata pelanggan listrik berdaya 1.300 VA ini.
Tak Dapat Subsidi
Sebenarnya, pemerintah telah memberikan keringanan pembayaran tagihan listrik PT PLN (Persero) bagi warga yang terdampak wabah corona. Sayangnya, Lia dan Ratna tak masuk kelompok penerimanya.
"Padahal, saya juga ikut merasakan dampak corona tetapi pemerintah tidak ikut memikirkan nasib anak kos seperti saya," keluh Lia.
Insentif pembebasan tarif listrik selama tiga bulan, April-Juni, hanya berlaku bagi pelanggan rumah tangga golongan 450 VA. Jumlahnya diperkirakan ada 24 juta pelanggan.
Kemudian, insentif diskon tarif listrik sebesar 50 persen selama tiga bulan hanya ditujukan kepada pelanggan rumah tangga golongan 900 VA yang berjumlah sekitar 7 juta orang. Berdasarkan data PLN, rata-rata biaya listrik kelompok ini ada Rp143 ribu per bulan.
Adapun total anggaran yang diperlukan untuk memberikan insentif tersebut sekitar Rp3,4 triliun.
Belakangan, penggratisan dan diskon tarif listrik itu diperpanjang hingga September 2020. Perpanjangan masa subsidi listrik ini juga membuat anggaran yang dikeluarkan pemerintah bertambah Rp6,9 triliun menjadi Rp61,69 triliun.
Tarif Listrik Tetap
PLN tak bisa berbuat banyak. Sebagai perusahaan pelat merah, perseroan hanya mengikuti kebijakan pemerintah terkait tarif dan pemberian insentif.
Namun, perseroan memastikan tidak ada kenaikan tarif listrik untuk seluruh golongan selama periode April-Juni. Rinciannya, tarif listrik untuk tegangan rendah Rp1.467 per kwh, R-1/900 VA RTM sebesar Rp1.352/kwh, tegangan menengah sebesar Rp1.115/kwh, dan tegangan tinggi sebesar Rp 997/kWh.
Executive Vice President Corporate Communication & CSR PLN I Made Suprateka mengatakan tarif listrik masih sama dengan tarif yang diterapkan sejak tahun 2017.
"Kami pastikan saat ini tidak ada kenaikan listrik, harga masih tetap sama dengan periode tiga bulan sebelumnya. Bahkan sejak tahun 2017 tarif listrik ini tidak pernah mengalami kenaikan," kata Made dalam keterangan tertulis awal bulan ini.
Namun, Made tak memungkiri, tagihan listrik pelanggan kemungkinan akan menanjak selama pandemi. Pasalnya, masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu di rumah untuk menghindari penyebaran virus corona.
"Biasanya siang hari tidak ada aktivitas, saat ini kita harus bekerja dari rumah, otomatis penggunaan bertambah, misalnya untuk laptop dan pendingin ruangan," ujarnya.
Lonjakan tagihan listrik itu yang membuat pelanggan kaget pada April lalu, terutama pelanggan pascabayar. Terlebih, perusahaan juga telah menangguhkan proses pencatatan dan pemeriksaan stand meter bagi pelanggan pascabayar.
Dalam hal ini, dasar perhitungan tagihan listrik menggunakan rata-rata pemakaian listrik selama tiga bulan terakhir yang bisa jadi lebih tinggi dari realisasi penggunaan tagihan listrik.
Sebagai alternatif, PLN meminta pelanggan pascabayar untuk melapor angka
stand meter via Whatsapp per Mei 2020. Pelanggan bisa mengirim angka stand meter ke nomor 08122 123 123. Laporan itu akan digunakan sebagai dasar perhitungan tagihan listrik pelanggan setiap bulan.
Sementara, bagi pelanggan prabayar, kesadaran untuk mengefisienkan penggunaan listrik menjadi penting di tengah pandemi. Sebisa mungkin hindari penggunaan listrik yang tak perlu agar tidak menjerit melihat pengeluaran token bulanan.
Lia pun menyadari hal itu. Ia mulai mengurangi penggunaan AC. Sebagai gantinya, ia memutuskan untuk membeli kipas angin berukuran kecil.
"Saya sudah berhenti berharap bisa dapat subsidi listrik. Jadi saya mesti pintar-pintar atur pengeluaran," ujarnya.
[Gambas:Video CNN] (bir)