Jakarta, CNN Indonesia -- Wike harus menempuh jarak 235 kilometer dari Kota Malang untuk sampai ke pangkuan orangtuanya di Madiun. Ia mengadukan nasib bisnis
backdrop wedding-nya yang benar-benar
drop karena pandemi
virus corona hingga membuatnya kesusahan mengisi perut dan dikejar-kejar tagihan cicilan
KPR.
Pusing tujuh keliling, sudah pasti.
Jangankan membayar angsuran rumah sebesar Rp3,5 juta per bulan, untuk mengisi perut saja Wike sudah angkat tangan. Kantongnya benar-benar kempes sejak April, persis sebulan setelah pemerintah mengumumkan kasus pertama virus corona di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak ada satu acara resepsi pernikahan pun digelar yang berujung pada bisnis
backdrop miliknya. "1,5 bulan saya ke Madiun, ke rumah ayah, cuma biar bisa makan," tuturnya lirih kepada
CNNIndonesia.com, Kamis (3/6).
"Saya sudah mengajukan permohonan keringanan KPR sejak Mei, sampai hari ini belum digubris. Padahal, itu bank pemerintah
loh (BUMN). Pas dengar
Tapera, saya langsung berpikir janji manis apalagi ini?" lanjut perempuan 39 tahun tersebut.
Tidak salah memang bila Wike men-cap Tapera dan program restrukturisasi kredit bagi nasabah terdampak covid-19 sebagai janji manis Pak Jokowi. Faktanya, ia mati-matian mempertahankan KPR yang dicicilnya sejak 2016 lalu.
Di sisi lain, Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera. Program baru ini akan memotong gaji pekerja untuk membayar iuran kepesertaan.
Pengelolaan dana akan dilakukan oleh BP Tapera, yang nantinya digunakan untuk membiayai kebutuhan rumah masyarakat. Ini artinya, mimpi peserta untuk memiliki rumah bisa terwujud lewat program tersebut.
Memang, terdengar manis di telinga.
[Gambas:Video CNN]Apalagi, jumlah masyarakat yang memiliki rumah tak banyak. Ada masalah defisit atau
backlog perumahan yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara kebutuhan dan pasokan, utamanya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Widi (36), karyawan sektor keuangan, malah menyebut Tapera sebagai program yang menganak-emaskan masyarakat kelas menengah ke bawah. Sebab, kepesertaan wajib bagi seluruh kelompok pekerja, namun hanya masyarakat berpenghasilan di bawah Rp8 juta yang akan menikmati manfaatnya.
"Saya sebagai kelas menengah, gaji di atas Rp10 juta, dapat apa? Kenyataannya, hingga kini saya belum memiliki rumah. Untuk mengumpulkan DP pun enggak gampang. Kalau saya jadi peserta Tapera, apa ada manfaatnya bagi saya? Kita kan bukan negara komunis," tegasnya.
Di satu sisi, Widi tidak keberatan untuk membayarkan iuran 2,5 persen dari gajinya. Tapi, apabila dananya hanya akan dikembalikan dalam bentuk investasi di akhir kepesertaan saat masa pensiun nanti, ia pesimis pengelolaannya bisa optimal.
"Jadi, kalau cuma dikelola negara untuk membiayai perumahan MBR, ya enggak ada
impact (dampak) buat saya dong. Akhirnya, Tapera, lagi-lagi seperti kebijakan pemerintah yang hanya memikirkan masyarakat kelas bawah, seolah-olah kami kelas menengah tidak ada risiko di-PHK atau potong gaji," terang dia.
Ia seraya mengingatkan program bansos dan BLT yang membanjiri masyarakat kelas bawah di tengah pandemi corona, termasuk diskon tarif listrik hingga digratiskan bagi pelanggan PLN bersubsidi 900 VA dan 450 VA. "Sebagai generasi
sandwich, produktif, yang jumlahnya banyak di Indonesia, dapat apa dari pemerintah?" singgungnya.
Pendapat berbeda disampaikan Riris (37). Karyawan bank swasta itu mendukung Tapera sekalipun ia telah memiliki rumah. Menurut pendapatnya, Tapera akan mendukung kesejahteraan purna kerja, seperti halnya program JHT dan pensiun milik BP Jamsostek.
"Yang penting, dananya bisa dicairkan saat kita pensiun nanti. Walaupun pengelolaannya mungkin konservatif, sehingga tidak akan maksimal. Tapi, buat saya yang boros, lumayan di masa pensiun punya tabungan," jelasnya.
Ia hanya mewanti-wanti BP Tapera selaku operator untuk disiplin dalam mengelola dana program. Selain itu, ia menyarankan ada pengawas lembaga. "Jadi jangan sampai kasus gagal bayar seperti Jiwasraya," terang Riris.
Pengusaha Tolak TaperaSementara itu, kalangan pengusaha menyuarakan penolakan Tapera. Alasannya, Tapera hanya menambah beban pengusaha untuk menanggung 0,5 persen iuran pekerja. Mengutip PP terkait, pengusaha dan pekerja patungan membayarkan iuran masing-masing 0,5 persen dan 2,5 persen.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial Harijanto mengatakan program Tapera tidak tepat diberlakukan, meski jangka waktu keikutsertaan pekerja swasta sampai tujuh tahun ke depan atau paling lambat 2027 mendatang.
"Apindo sudah menolak, setahu saya serikat pekerja juga menolak, tapi ini ada masa tujuh tahun paling lambat harus daftar," terang Harijanto kepada
CNNIndonesia.com, Rabu (3/6).
Menurutnya, hal utama yang membuat kebijakan ini tidak tepat adalah tumpang tindih dengan program kepesertaan lain. Misalnya, iuran kepesertaan BP Jamsostek.
Selain itu, ia juga tidak melihat urgensi yang mendasar dari kebijakan ini. Menurutnya, urusan menabung untuk perumahan pekerja sejatinya bisa dilakukan dengan cara lain.
Kepesertaan badan peralihan dari Bapertarum-PNS ke Tapera ini sendiri akan diperluas tidak hanya merangkul PNS dan calon PNS, tapi juga pekerja BUMN, BUMD, pekerja swasta, dan pekerja mandiri.
(sfr)