Jakarta, CNN Indonesia -- Ekonom Senior
Faisal Basri memperkirakan aliran modal asing keluar (
capital outflow) dari Indonesia akan cukup marak terjadi pada bulan depan. Hal ini terjadi sebagai dampak dari puncak pandemi
virus corona atau Covid-19 yang terjadi mulai 14 Juni 2020 di tengah masa transisi menuju tatanan hidup baru (
new normal).
Faisal menjelaskan peningkatan aliran modal asing memang cukup besar dalam beberapa waktu terakhir. Peningkatan turut memberi dampak pada penguatan nilai tukar rupiah.
Akibatnya, rupiah yang semula sempat menembus kisaran Rp16 ribu per dolar AS saat corona mewabah di dalam negeri, kini berangsur turun ke Rp14 ribu per dolar AS.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aliran modal asing ramai-ramai masuk ke Tanah Air karena pemerintah menerbitkan banyak surat utang dalam rangka memenuhi kebutuhan dana penanganan corona. Hal ini menarik minat investor asing yang kebetulan tengah memiliki kecukupan dana akibat suntikan stimulus moneter (
quantitative easing) dari kebijakan di negara mereka masing-masing.
"Bunganya tinggi sekali, 7 persen, 8 persen, sementara asing, sekarang kelebihan dana karena stimulus
quantitative easing.
Nah, mereka masuk ke Indonesia membeli surat utang pemerintah, tapi mereka bukan untuk jangka panjang," ujar Faisal dalam diskusi virtual, Rabu (10/6).
Sayangnya, menurut Faisal, kehadiran aliran modal asing di dalam negeri tidak akan berdurasi lama. Sebab, perkembangan kasus virus corona akan memberikan sentimen negatif bagi mereka.
Faisal bilang proyeksi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memperkirakan puncak pertambahan kasus virus corona akan meningkat di Indonesia selepas 14 Juni 2020. Puncak tersebut terjadi karena pemerintah memaksakan berlangsungnya
new normal.
Kebijakan itu menurutnya, akan memberi celah bagi penambahan kasus infeksi virus corona.
[Gambas:Video CNN]"Kemarin sudah mulai di atas 1.000 kasus per hari. Kemudian akibat
new normal yang dipaksakan, itu munculnya nanti bulan depan. Nah, pada saat itulah asing mulai menjual
bonds-nya (surat utang) lagi," katanya.
Atas proyeksi ini, Faisal mengatakan Bank Indonesia (BI) mau tidak mau harus bersiap diri untuk kembali memborong surat utang yang dilepas asing. "Nanti BI harus turun tangan. Nah, keluarkan lagi cadangan devisa," ucapnya.
Sebab bila bank sentral nasional tidak siap membeli surat utang dan mengorbankan cadangan devisa, maka dampaknya akan ke nilai tukar rupiah. Mata uang Garuda berpotensi melemah lagi.
Pelemahan rupiah, katanya, akan mudah terjadi karena selama ini sentimen penopang hanya berupa aliran modal asing. Sementara indikator lain, misalnya defisit transaksi berjalan (
Current Account Deficit/CAD) belum bisa memberi daya tahan kepada rupiah.
"Kalau yakin rupiah akan menguat secara berkelanjutan, ya itu karena
current account-nya sudah positif. Nah, sampai sekarang
current account masih defisit. Jadi kalau
capital inflow keluar lagi jadi
outflow, maka rupiah akan melemah lagi," jelasnya.
Selain itu, sambungnya, indikator lain juga masih belum memberi daya dukung ke rupiah. Misalnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya 2,97 persen pada kuartal I 2020. Menurutnya, kondisi ini jauh lebih parah dari krisis ekonomi 2008.
"Tingkat kerentanan kita (Indonesia) sekarang lebih buruk dari yang lalu pada 2008. 2008 masih bisa melenggang 4,6 persen tatkala dunia sudah mengalami resesi," imbuhnya.
Di sisi lain, ia turut menyoroti perubahan tren sentimen ekonomi saat ini. Pasalnya, ada sedikit anomali, di mana biasanya pasar akan bereaksi negatif bila indikator ekonomi memburuk, namun yang terjadi saat ini justru sedikit berbeda.
Ia mengambil contoh tingkat pengangguran di Amerika Serikat. Saat ini, tingkat pengangguran naik ke kisaran 14 persen, meski kemarin sempat turun jadi 13 persen.
Namun, ketika tingkat pengangguran buruk, kondisi pasar keuangan AS justru menguat. Begitu pula dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Indonesia.
"Jadi banyak yang bertanya-tanya juga ekonom di berbagai negara, saat ini semakin tidak ada hubungannya antara kinerja pasar modal dan pasar uang dengan kinerja ekonomi," pungkasnya.
(uli/agt)