ANALISIS

Jangan Gegabah Angkut Banyak Penumpang Demi Ekonomi

Ulfa Arieza | CNN Indonesia
Rabu, 10 Jun 2020 08:26 WIB
Calon penumpang melaporkan berkas kelengkapan perjalanan di posko pengendalian percepatan penanganan covid-19 Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Rabu 13 Mei 2020. CNNIndonesia/Safir Makki
Pengamat mengingatkan dampak ekonomi dari kenaikan kapasitas penumpang tak sebanding dengan risiko ancaman lonjakan kasus covid-19. Ilustrasi calon penumpang. (CNNIndonesia/Safir Makki).
Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Perhubungan menaikkan kapasitas penumpang pada transportasi umum dan kendaraan pribadi, menyusul dihapusnya batas angkut maksimal 50 persen yang tertuang dalam Permenhub Nomor 41 Tahun 2020. Aturan ini mengatur pengendalian transportasi di era tatanan normal baru (new normal) dalam rangka mencegah virus corona.

Selanjutnya, kapasitas penumpang menjadi naik untuk masing-masing alat transportasi yang diatur dalam Surat Edaran (SE). Sebut saja, kapasitas kereta api dinaikkan secara bertahap dari 50 persen menjadi 70 persen. Kapasitas kereta api dapat naik menjadi 80 persen sesuai dengan perkembangan pelonggaran tahap pertama.

Kemudian, kapasitas angkut penumpang pesawat terbang niaga berjadwal selama periode new normal naik dari 50 persen menjadi 70 persen.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Maklumlah, kapasitas maksimal yang hanya sebesar 50 persen dari total kursi yang tersedia dalam Permenhub 18 Tahun 2020, membuat kinerja keuangan perusahaan transportasi merosot tajam.

Masalahnya, pendapatan perusahaan tak sebanding dengan biaya operasional yang dikeluarkan perusahaan.

"Misalnya transportasi udara, dengan kapasitas 50 persen, maka operator praktis tidak bisa berjalan. Tidak break even point (BEP). BEP kalau kapasitas 65 persen," imbuh Budi Karya Sumadi, Menteri Perhubungan, Selasa (9/6).

Di sisi lain, kebijakan meningkatkan batas angkut penumpang dinilai bisa mengakomodir permintaan masyarakat terhadap penggunaan transportasi umum.

Namun, Ekonom Indef Abra PG Talattov mengingatkan pemerintah tidak gegabah dalam mengambil kebijakan sektor transportasi publik. Apalagi, tambahan kasus positif terus melonjak, yang menandakan kurva covid-19 masih bergerak naik. Belum melandai.

Bahkan, tambahan jumlah kasus positif baru saja memecahkan rekor tertinggi harian, yakni 1.043 orang pada Selasa (9/6), tepat sehari setelah tatanan hidup normal baru (new normal) dimulai. Angka ini menjadi rekor tertinggi kasus harian positif corona di Indonesia sejak pertama kali diumumkan.

"Jadi, risiko penyebaran masih besar. Walaupun dibilang ada protokol ketat (new normal), namun tidak menghilangkan risikonya," ujar Abra kepada CNNIndonesia.com, Rabu (10/6).

Memang, ada sederet syarat yang harus dipenuhi calon penumpang transportasi umum atau dikenal protokol pencegahan covid-19. Persyaratan ini lengkap mengatur tiap calon penumpang perjalanan moda transportasi darat, perkeretaapian, laut dan udara.

Salah satunya, penumpang harus mempunyai surat keterangan uji tes polymerase chain reaction atau PCR dengan hasil negatif yang berlaku selama 7 hari saat keberangkatan. Surat tersebut juga bisa diganti dengan surat keterangan uji rapid test dengan hasil non reaktif yang berlaku selama tiga hari saat keberangkatan.

Bagi daerah yang tidak memiliki fasilitas tes PCR atau rapid test, bisa menunjukan surat keterangan bebas gejala seperti influenza yang dikeluarkan dokter rumah sakit atau puskesmas.

Namun, tetap saja Abra khawatir bila pemerintah lengah, maka pelonggaran kapasitas penumpang malah memicu gelombang kedua covid-19 yang disebabkan penularan melalui transportasi umum. Jika kekhawatiran ini terjadi, kepercayaan publik terhadap angkutan umum akan berkurang.

Hasil rapid test bisa saja tidak akurat. Ia mencontohkan temuan dua penumpang pesawat positif covid-19 setelah mendarat di Bandara Internasional Minangkabau, Sumatera Barat.

Keduanya, terbang dari Jakarta berbekal hasil rapid test yang dinyatakan negatif. Namun, setelah mendarat keduanya kembali diperiksa dan dinyatakan positif virus corona melalui PCR.

Untuk diketahui, Menhub memperbolehkan penumpang transportasi umum tidak melakukan pemeriksaan PCR. Namun, kelonggaran ini hanya diberlakukan untuk daerah yang memang benar-benar tak memiliki peralatan pemeriksaan PCR.

[Gambas:Video CNN]

Syarat sama juga berlaku bagi calon penumpang yang menggunakan transportasi darat, kereta dan laut udara. Bagi mereka yang bisa memenuhi, penumpang tetap harus memenuhi sejumlah persyaratan jika tetap ingin bisa melakukan perjalanan dengan moda transportasi umum.

"Justru kalau publik sudah tidak percaya keamanan dan keselamatan pada transportasi umum, itu akan sulit untuk dipulihkan, orang lebih takut," kata Abra.

Pun demikian, ia tak menafikan dampak positif tambahan kapasitas penumpang bisa mengurangi tekanan finansial perusahaan transportasi. Namun, ia menilai dampak ekonomi itu tidak akan sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan bila jumlah penularan kasus corona melonjak.

Sebab, biaya perawatan pasien terjangkit yang harus ditanggung pemerintah tidak berkurang. Di sisi lain, program pemulihan ekonomi sendiri bisa terhambat lantaran jumlah kasus positif terus bertambah.

Abra juga berharap pemerintah bisa mempelajari praktek terbaik negara lain sebelum menerapkan kebijakan transportasi umum. Toh, sejumlah negara yang melonggarkan aktivitas mereka umumnya dalam kondisi kurva covid-19 melandai, bahkan negatif. Berbeda jauh dengan kondisi di dalam negeri.

"Menurut saya, pemerintah jangan gegabah memutuskan kebijakan sektor transportasi umum. Nanti, khawatir justru akan menjadi pemicu gelombang kedua covid-19," ujarnya.

Pendapat berbeda disampaikan oleh Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam. Menurutnya, kenaikan kapasitas itu masih memberikan ruang untuk melakukan jaga jarak fisik (physical distancing). Penegasan physical distancing ini pun masih diatur dalam aturan baru.

"Tentunya, Kemenhub menerapkan kenaikan itu dengan pertimbangan kesehatan. Itu tetap diutamakan. Makanya, kenaikan tidak menjadi 100 persen, tapi sekitar 70 persen, sehingga masih dimungkinkan untuk memberlakukan protokol kesehatan," terang Piter.

Ia menilai upaya tersebut tak juga semata-mata bertujuan menggenjot ekonomi. Sebab, dengan upaya apapun, perekonomian pasti akan melambat tahun ini. Kebijakan itu, lanjutnya, bertujuan menahan perlambatan ekonomi lebih dalam, serta menjaga perusahaan transportasi agar tidak kolaps.

"Ibaratnya, mencari yang terbaik dari terburuk. Jadi, menaikkan menjadi 70 persen itu lebih baik daripada membatasi kapasitas 50 persen. Pemerintah mencari yang paling optimal di antara yang buruk," paparnya.

Selain bisa menahan laju perlambatan ekonomi, sambung Piter, kenaikan kapasitas penumpang mampu mengurangi beban perusahaan transportasi publik. Kebijakan ini juga dinilai mampu menahan kenaikan harga tiket yang rencananya dibebankan kepada penumpang.

Berbeda dengan tingkat keterisian hanya setengahnya, yang berpotensi membuat harga tiket naik demi menutup beban biaya operasional. "Tapi kenaikan tiket itu bukan hal yang tepat pada kondisi sekarang, ini harus dihindari apalagi kalau signifikan, kebijakan itu tidak tepat diambil pada kondisi ini," tandasnya.

(bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER