ANALISIS

Potensi Resesi di Depan Mata Penerapan New Normal

CNN Indonesia
Kamis, 11 Jun 2020 09:57 WIB
Pengendara melintasi mural bertema 'New Normal New Problem' di kawasan Tanjung Barat, Jakarta, Selasa (9/6/2020). Mural itu pesan menyambut era tatanan kehidupan baru ketika setiap orang harus mengedepankan protokol kesehatan saat berkegiatan di tengah pandemi COVID-19. CNN Indonesia/Andry Novelino
Ekonom mengingatkan potensi resesi ekonomi apabila penerapan new normal menjadi bumerang bagi tingkat penyebaran virus corona. Ilustrasi. (CNN Indonesia/Andry Novelino).
Jakarta, CNN Indonesia -- Pembatasan kegiatan masyarakat dan ruang publik mulai dilonggarkan sebagai upaya menuju tatanan normal baru (new normal). Perkantoran di ibu kota sudah mulai beroperasi secara efektif, pusat perbelanjaan atau mal dibuka pada 15 Juni 2020, dan taman rekreasi akan kembali beroperasi pada 20-21 Juni 2020 mendatang.

Tak hanya itu, kapasitas maksimal untuk transportasi publik yang sebelumnya hanya boleh 50 persen dari total kursi yang ada, kini jumlahnya naik rata-rata menjadi 70 persen. Kebijakan ini diharapkan menggerakkan lagi aktivitas perekonomian di dalam negeri.

Kalau efektif, dampaknya akan positif untuk ekonomi nasional. Minimal, bisa menahan agar ekonomi domestik tak sampai minus di tengah penyebaran virus corona.
Hanya saja impian itu belum tentu tercapai. Pelaku usaha sendiri tak yakin tingkat konsumsi masyarakat akan pulih di masa new normal ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Salah satunya, Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Irfan Setiaputra mengatakan permintaan masyarakat tak akan langsung meningkat sejalan dengan kenaikan kapasitas maksimal yang diatur pemerintah.

Manajemen saat ini masih fokus mendorong minat masyarakat untuk menggunakan lagi transportasi udara. "Kami fokus meningkatkan ketertarikan publik untuk terbang lagi," kata Irfan kepada CNNIndonesia.com, dikutip Kamis (11/6).

Kalau permintaan masih rendah, maka kenaikan kapasitas maksimal tak akan berdampak pada kinerja operator penerbangan. Padahal, kebijakan ini dibuat agar industri penerbangan pulih setelah dihantam virus corona.

Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi mengungkapkan jangan terlalu optimis ekonomi nasional langsung membaik dengan kebijakan new normal yang baru saja dirilis pemerintah. Masalahnya, tingkat permintaan masih rendah karena daya beli masyarakat belum pulih di tengah pandemi virus corona.

Situasi ini akan membuat dampak pembukaan kembali ruang publik, seperti mal, tempat rekreasi, hingga kenaikan kapasitas maksimal transportasi publik tak akan signifikan. Jika demikian, roda perekonomian belum bisa bergerak seperti sebelumnya.

"Kemauan orang melakukan konsumsi itu bergantung pada data kesehatan. Kalau angka penularan virus corona justru melonjak seperti beberapa hari terakhir ini, maka akan mempengaruhi kemampuan dan kerelaan orang untuk mengeluarkan uang," ujar Fithra.

[Gambas:Video CNN]

Logikanya, kata Fithra, orang akan lebih hati-hati untuk belanja jika penularan virus corona semakin meningkat. Fithra menyatakan seseorang akan memilih menyimpan uangnya di tengah situasi yang serba tak pasti seperti sekarang.

"Kemampuan dan kerelaan orang untuk mengeluarkan uang juga belum sepenuhnya pulih. Masih turun untuk menghindari risiko. Jadi, lebih memikirkan kebutuhan-kebutuhan prioritas saja," terang Fithra.

Kalau pemerintah tak hati-hati, kebijakan new normal justru bisa jadi bumerang tersendiri. Bukannya pulih, ekonomi justru akan semakin hancur karena kebijakan new normal dilakukan saat kurva penularan virus corona semakin meningkat.

"Ini kan Indonesia mencapai puncaknya juga belum, masih naik terus. Ini jangan sampai gelombang penularan virus corona pertama belum selesai, nanti timbul gelombang kedua," terang Fithra mengingatkan.

Lihat saja, jumlah penambahan kasus virus corona justru semakin sinifikan beberapa hari terakhir. Data pemerintah menunjukkan ada penambahan 1.241 kasus baru positif corona pada Rabu (10/6).

Angka itu merupakan rekor baru kasus harian positif corona sejak pertama kali diumumkan. Kasus baru positif virus corona itu berasal dari 17.757 spesimen yang diperiksa sampai dengan pukul 12.00 WIB.

Tak heran, sebagian besar masyarakat masih menahan belanjanya saat ini. Pelonggaran pembatasan di masa normal pun terbilang sia-sia jika kurva penularan virus corona masih menanjak.

Fithra bilang kalau kurva penularan virus corona bisa mulai menurun secara konsisten pada Juli 2020, maka ada peluang ekonomi Indonesia tumbuh positif pada akhir tahun. Sebaliknya, ekonomi domestik berpotensi minus bila penularannya terus meningkat hingga September 2020.

"Kalau penularan virus corona kembali meningkat tajam saat new normal, otomatis pemerintah akan melakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) lagi seperti kemarin-kemarin," ungkap Fithra.

Jika pembatasan yang ketat kembali berlaku, aktivitas ekonomi otomatis akan redup seperti beberapa bulan terakhir. Walhasil, ekonomi Indonesia berpotensi terkontraksi sepanjang semester II dan Indonesia resmi masuk ke jurang resesi.

"Resesi itu pertumbuhan negatif dalam dua kuartal berturut-turut. Bisa saja ini terjadi pada kuartal III dan IV 2020, jika pemerintah tidak bisa memitigasi ekonomi kuartal II 2020 dengan baik," jelasnya.

Di sisi lain, ekonomi Indonesia tetap akan positif di penghujung tahun ini kalau saat new normal semua berlangsung sesuai harapan. Artinya, peningkatan penularan virus corona mulai melambat dan jumlah pasien yang sembuh semakin meningkat.

"Kalau kurva melandai maksimal Juli 2020 itu berarti ada peluang ekonomi positif, jadi tergantung dengan kurva," tutur dia.

Fithra meyakini masyarakat akan kembali percaya diri untuk melakukan konsumsi jika peningkatan kasus positif corona mulai melambat. Efeknya, permintaan di pasar ikut meningkat dan kegiatan ekonomi kembali bergerak.

"Kalau semua lancar paling cepat dampaknya terasa akhir kuartal III 2020, peluangnya ekonomi tumbuh di atas 1 persen lah kalau Juli 2020 ini pertumbuhannya bisa melambat," kata Fithra.

Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyatakan keberhasilan kebijakan new normal amat bergantung dengan sikap disiplin masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan di ruang publik.

Jika mengikuti prosedur yang ditetapkan pemerintah, potensi penularan virus corona bisa ditekan dan ekonomi membaik. "Namun, memang dampak ke ekonomi tidak langsung. Mungkin kalau pun ada perbaikan, itu akan terjadi pada kuartal IV 2020," kata Yusuf.

Ia melihat pertumbuhan ekonomi masih akan terganggu hingga kuartal III 2020. Namun, situasi pada akhir tahun akan membaik bila jumlah peningkatan penularan virus corona melambat pada Juli 2020.

"Jumlah kasus corona akan mempengaruhi seseorang untuk melakukan kegiatan di ruang publik. Kalau masih banyak yang takut keluar maka akan berpengaruh pada aktivitas ekonomi," terang Yusuf.

Jadi, kuncinya adalah bagaimana kurva penularan virus corona bisa semakin ditekan hingga awal kuartal III 2020. Bila berhasil, kepercayaan masyarakat dan investor akan tumbuh.

"Kalau new normal berjalan lancar pertumbuhan ekonomi lebih dari 1 persen, atau minus 2 persen kalau proses tidak berjalan lancar," jelasnya.

Dampak penyebaran virus corona sendiri telah dirasakan di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi kuartal I 2020 anjlok menjadi hanya 2,97 persen dari biasanya yang berkisar 4 persen-5 persen.

Hal itu terjadi karena tingkat pertumbuhan konsumsi masyarakat jauh melambat cuma 2,84 persen. Realisasi ini terpaut jauh dari periode yang sama tahun lalu, yakni 5,02 persen.

Di Indonesia, pertumbuhan ekonomi memang masih bergantung dengan konsumsi masyarakat. Porsinya mencapai 58,14 persen pada kuartal I 2020 atau naik dari sebelumnya yang hanya 56,83 persen. (aud/bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER