Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat kurang darah pada perdagangan pekan lalu, yakni turun 1,36 persen dari level 4.947 menjadi 4.880. Namun, indeks saham berhasil mendarat di zona hijau atau naik 0,53 persen pada penutupan perdagangan akhir pekan.
Aksi ambil untung (profit taking) memang marak. Tetapi, Head of Research PT Samuel Sekuritas Suria Dharma menilai pelemahan indeks juga berasal dari tekanan sentimen global, terutama dari Amerika Serikat (AS).
Sebelumnya, The Fed memutuskan mempertahankan suku bunga acuan 0 persen. Bank sentral AS mengisyaratkan mempertahankan kebijakan ini hingga perekonomian kembali ke jalur yang tepat. Berarti suku bunga acuan mungkin bertahan setidaknya hingga 2022.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suria bilang sinyal buruk yang disampaikan oleh Gubernur The Fed Jerome Powell itu meruntuhkan harapan dan optimisme investor ke pasar saham. Belum lagi, angka infeksi virus corona yang kian mengkhawatirkan di AS, yaitu sebanyak 2,1 juta orang hingga Minggu (14/6).
Tak jauh berbeda, jumlah korban positif covid-19 di Indonesia pun tak kunjung melandai. Per kemarin, kasus positif mencapai 38.277, dengan jumlah orang meninggal sebanyak 2.134. Namun, Suria menilai tingginya angka positif pasien covid-19 dalam negeri disebabkan oleh bertambahnya jumlah tes di daerah episentrum penularan.
Pun demikian, Suria menilai prospek IHSG tak terlalu suram. Buktinya, indeks berhasil ditutup di zona hijau meskipun investor asing jual bersih sebesar Rp1,21 triliun. Menurut dia, hak itu menandakan ketangguhan investor dalam negeri yang menopang laju indeks dan tak ikut-ikutan panik lalu angkat kaki.
"Kalau dilihat dana asing keluar sangat besar, Rp1,2 triliun. Investor lokal sebetulnya yang bertahan, yang menjaga IHSG," imbuh dia, Senin (15/6).
Potensi penguatan lainnya, jelang rapat dewan gubernur (RDG) bulanan Bank Indonesia (BI) pada pekan ini atau tanggal 17-18 Juni nanti. Keputusan moneter BI diprediksi dapat mendongkrak kinerja pasar saham.
Hanya saja, dalam menyikapi tingkat volatilitas tinggi, lanjutnya, investor harus ekstra hati-hati dalam menentukan portofolio investasinya. Ia menyarankan investor untuk rajin mengecek kinerja kuartal I 2020 setiap saham yang dibidik, termasuk juga kemampuan perusahaan dalam membayarkan dividen.
Ia turut mengingatkan investor untuk memilih sektor dan saham yang cenderung tidak mengalami penurunan permintaan di tengah pandemi corona. Ia mencontohkan sektor telekomunikasi dan farmasi.
PT Kalfe Farma Tbk (KLBF), misalnya, yang mencatat pertumbuhan sehat pada kuartal I 2020. Perusahaan mengantongi penjualan bersih senilai Rp5,8 triliun atau tumbuh 8,01 persen dibandingkan periode sama tahun lalu, yaitu sebesar Rp5,37 triliun.
Kenaikan penjualan ditopang oleh distribusi dan logistik yang meningkat hingga 13,21 persen dibanding kuartal sama 2019 menjadi Rp 1,8 triliun. Sementara, atribusi penjualan produk nutrisi naik 5,26 persen (yoy) menjadi Rp1,6 triliun pada kuartal I 2020.
Emiten juga membagikan dividen sebesar Rp20 per saham yang berasal dari laba 2019 sebesar Rp 937,5 miliar. Dari indikasi tersebut, KLBF dinilainya masih layak koleksi, meskipun terkoreksi 2,13 persen pada perdagangan pekan lalu. "KLBF target price Rp1.600," jelasnya.
Untuk sektor telekomunikasi, ia menyarankan saham pelat merah, PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk. Kinerja apik TLKM ditunjukkan lewat pertumbuhan laba bersih sebesar Rp18,66 triliun pada 2019 atau tumbuh 3,5 persen dari tahun sebelumnya.
Laba perseroan ditopang perolehan pendapatan sepanjang 2019, yaitu sebesar Rp135,56 triliun atau naik 3,66 persen dari pendapatan tahun sebelumnya, yaitu Rp130,78 triliun.
Mayoritas pendapatan perusahaan berasal dari penjualan data, internet, dan jasa teknologi informatika senilai Rp72,78 triliun sepanjang 2019, naik dari realisasi 2018 yang berkisar di angka Rp65,55 triliun. Sementara, laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) 2019 tercatat Rp64,83 triliun, tumbuh 9,5 persen secara tahunan.
Suria menargetkan harga TLKM di angka Rp4.700 atau di kisaran harga tertingginya selama setahun terakhir. Emiten saat ini dihargai Rp3.030 per saham, melemah 6,19 persen pada perdagangan pekan lalu.
Direktur PT Anugerah Mega Investama Hans Kwee menilai pelemahan IHSG merupakan sinyal kembalinya rasional pasar yang sempat terlalu percaya diri (overconfidence) dan melesat sebesar 5,2 persen selama sebulan terakhir.
"Saham sepertinya mulai rasional, tidak bisa naik sendiri, sementara sektor riil lagi susah," katanya.
Ia bilang investor yang melakukan pembelian cepat akibat takut ketinggalan beli saham murah mulai bersikap rasional dan melihat fundamental ekonomi yang belum akan pulih dalam waktu dekat.
Langkah pemerintah melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan membuka beberapa sektor tertentu disebutnya tak akan melambungkan pasar secara instan. Ia menilai beberapa sektor seperti ritel mungkin akan merasakan dampaknya, sedangkan sisanya masih akan jalan di tempat.
Untuk investor yang masih akan belanja saham, ia menyarankan untuk membidik saham-saham perbankan terutama saham lapis pertama. Sebab, saham lapis kedua terlalu berisiko, mengingat tingginya rasio kredit macet (NPL) saat ini.
"Perbankan masih direkomendasikan karena sektor ini pulihnya akan lebih cepat karena yang lain nantinya harus bayar utang dan akan rebound terlebih dahulu dari sektor lainnya, sehingga masih menjanjikan," terang dia.
Hans juga merekomendasikan saham BBCA, BMRI, BBNI, dan BBRI, namun ia tak menetapkan harga target untuk emiten-emiten tersebut.