Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi
fintech mendorong Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan Bank Perkreditan Rakyat (
BPR) untuk berkolaborasi dengan perusahaan keuangan digital (
financial technology/fintech) atau pinjaman online. Tujuannya, agar BPD dan BPR bisa memperkuat bisnisnya utamanya dalam menghadapi tekanan ekonomi yang diakibatkan oleh pandemi
Covid-19.
Namun, Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Adrian Gunadi mengatakan sebelum berkolaborasi, pihaknya berharap BPD dan BPR mau mengidentifikasi bisnis utama mereka terlebih dulu. Identifikasi perlu dilakukan karena model bisnis
fintech seperti
fintech lending (pinjaman),
fintech payment (pembayaran), dan lainnya merupakan segmentasi bisnis bank.
Dengan identifikasi tersebut diharapkan bank-bank itu bisa mengetahui kekuatan bisnis mereka. Dengan cara itu, maka BPD dan BPR bisa membidik fintech yang sesuai untuk diajak berkolaborasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dari masing-masing BPD dan BPR harus mengidentifikasi dulu bisnisnya, strateginya, dimana kekuatan mereka,
core business (bisnis inti), dan peluangnya," ujarnya dalam diskusi virtual, Senin (15/6).
Lebih lanjut, ia mengatakan BPD dan BPR memiliki kekuatan dari sisi nasabah di daerah serta potensi ekonomi di wilayah mereka. Ia mengambil contoh, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk yang bekerjasama dengan fintech Tanihub. Kerja sama itu menyasar nasabah BRI di daerah yang bekerja sebagai petani.
Kaspar Situmorang, Executive Vice President Digital Center of Excellence BRI mendukung pendapat Adrian tersebut. Menurutnya, BPD dan BPR bisa bermitra atau justru bergabung (merger) dengan fintech yang sesuai dengan bisnis dan kapabilitas bank.
"Mengutip kata CEO Google Sundar Pichai, kalau tidak bisa dikalahkan maka gabung dengan mereka," tuturnya.
Ia mengatakan langkah tersebut lebih efektif ketimbang menciptakan bisnis baru untuk menyaingi bisnis
fintech. Pasalnya, bisnis baru membutuhkan riset dan pengembangan usaha baru.
[Gambas:Video CNN]
Namun, kata dia, bank BUKU 3 dan BUKU 4 lebih berpeluang untuk berkolaborasi dengan fintech. Sebab, kerja sama dua pihak membutuhkan lebih dari sekadar biaya.
'Mengambil
framework (kerangka kerja) dari regulator, BI kami melihat peluang tadi muncul di bank BUKU 4 dan 3, BUKU 1 masih sangat susah karena selain biaya juga membutuhkan kapasitas dan kapabilitas untuk menghimpun talenta yang masuk ke situ sangat susah," katanya.
Sementara itu, Direktur Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Krisna Wijaya mengungkapkan
fintech saat ini merupakan
challenger (penantang ) bank potensial. Sebab,
fintech memiliki lini bisnis yang juga dilakukan oleh bank.
"Siapa potensi
challenger bank di Indonesia? Tentu masih
fintech. Tapi saya tidak katakan itu sebuah kesalahan, hanya sederhananya kenapa banknya mau diganggu?" katanya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sendiri telah memberikan restu bagi dua entitas itu untuk berkolaborasi. Hingga 12 Februari 2020, OJK mencatat terdapat 161 perusahaan
fintech yang telah memperoleh izin regulator.
(ulf/agt)