Pemerintah nampaknya harus lebih waspada terhadap kondisi perekonomian di tahun depan. Meski sejumlah lembaga memprediksi pemulihan ekonomi bisa berlangsung pada kuartal akhir 2020, potensi Indonesia terjebak dalam resesi berkepanjangan masih terbuka lebar.
Apalagi, kalau melihat kemampuan anggaran pemerintah yang kian terbatas akibat besarnya pemberian subsidi dan insentif untuk mendorong perekonomian supaya tetap bergerak di tengah tekanan virus corona. Eks Menteri Keuangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Chatib Basri bahkan menyebut 'real problem' atau masalah ekonomi yang diakibatkan virus corona baru akan terlihat pada 2021.
Kekhawatiran Chatib Basri tentu bukan tanpa alasan. Runtuhnya daya beli masyarakat akibat pandemi Covid-19 telah menekan membuat banyak usaha gulung tikar dan menghancurkan permintaan masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain bantuan yang digelontorkan pemerintah saat ini masih terbatas pada kelompok miskin. Padahal kelompok menengah ke bawah yang jumlahnya jauh lebih besar juga membutuhkan.
Jika di kelompok rentan miskin tersebut tak ada permintaan, maka pemulihan ekonomi domestik di tahun depan dipastikan akan semakin sulit. "Jadi ekspektasi (ekonomi segera pulih) bisa berubah kalau daya beli enggak muncul-muncul," kata Chatib dalam video conference, Kamis (25/6).
Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menilai pemerintah perlu bersiap menghadapi kemungkinan terburuk jika pandemi berlangsung hingga akhir tahun. Ada empat hal yang menurutnya akan merintangi fase pemulihan ekonomi.
Pertama adalah rendahnya konsumsi rumah tangga yang selama ini menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pemerintah, menurutnya, harus sadar bahwa rendahnya konsumsi bukan hanya disebabkan oleh daya beli.
Pemerintah juga harus sadar bahwa masalah itu kemungkinan juga dipicu penurunan minat masyarakat untuk berbelanja. Karenanya, ia mengatakan perluasan penerima bantuan, baik dalam bentuk sembako maupun uang tunai kepada masyarakat menengah ke bawah mutlak dilakukan untuk mendongkrak kembali daya beli masyarakat.
Selanjutnya, pemerintah juga perlu mendorong kelompok menengah ke atas mengeluarkan lebih banyak uang untuk berbelanja sehingga tingkat permintaan dapat terkerek lebih tinggi.
"Mereka enggak terlalu menderita, tapi willingness to spend nya kurang, cenderung menghindari risiko dan saving. Mereka masih wait and see, maka mereka harus distimulasi," tutur Faisal.
Kedua, besarnya angka pengangguran baru akibat pandemi Covid-19. Mereka, menurut Faisal, bakal jadi beban bagi perekonomian jika pemerintah tak segera membuka lapangan pekerjaan baru.
Produktivitas buruh yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di masa pandemi juga akan menurun dan ongkos yang perlu dikeluarkan pemerintah untuk re-skilling dan up-skilling akan lebih besar.
"Selama mereka terlay-off, mereka bisa kehilangan produktivitas karena akan terdepresiasi keahliannya. Buruh ini pada saat pemulihan ekonomi harus diberikan skill tambahan, supaya bisa lebih fleksibel pindah antar sektor ketika masa pemulihan" ucap Faisal.
Ketiga, minimnya realisasi penyaluran stimulus dan insentif kepada dunia usaha. Ia mencontohkan misalnya, pemberian kredit murah bagi UMKM yang masih jauh dari harapan
Stimulus yang diskemakan dalam bentuk dana penempatan menurutnya kurang tepat karena terhambat oleh prosedur administrasi bank yang semakin hati-hati di tengah pandemi. Hingga saat ini, berdasarkan data Kementerian Keuangan, serapan anggaran stimulus UMKM baru 0,06 persen dari total Rp123,4 triliun.
"Kalau kami lihat sedikit sekali eksekusinya. UMKM aja baru sedikit. Semua itu akan sangat bergantung dengan apa yang dilakukan sekarang. Yang bisa kita lakukan adalah mempercepat uangnya keluar," tuturnya.
Kelima, sulitnya mencari alternatif pembiayaan APBN di tengah menurunnya penerimaan pajak lantaran banyaknya sektor usaha terhenti.
Karena itu, dalam rangka refinancing, Bank Indonesia harus membeli surat utang negara yang diterbitkan pemerintah di pasar primer dengan harga khusus dan bukan mengikuti mekanisme pasar.
Jika tidak, beban fiskal pemerintah pasca pandemi Covid-19 akan semakin berat. "Kalau bisa rate-nya beli di pasar perdana jangan tinggi-tinggi. Dan pemerintah harus cari alternatif financing yang lain, yang lebih murah," terang Faisal.
Kepala Departemen Ekonomi CSIC Yose Rizal Damuri mengatakan bahwa dalam keadaan terpuruk seperti sekarang, sinyal positif pemulihan ekonomi tak bisa serta-merta diterima sebagai sesuatu yang menggembirakan.
Maka itu, pemerintah harus hati-hati, termasuk dalam menggelontorkan stimulus. Penambahan stimulus akan berbanding lurus dengan penambahan utang pemerintah yang.
Jika tak dapat dikendalikan dan dikelola dengan hati-hati, hal itu bisa memberi masalah lebih berat terhadap ekonomi. Pasalnya, kredibilitas pemerintah di mata investor bisa jatuh dan peringkat utang Indonesia bisa melorot.
Karena itu, menurutnya, kuartal tiga dan keempat tahun ini akan menjadi kunci apakah rencana pemulihan ekonomi Indonesia dapat berlangsung mulus.
"Apakah bisa langsung menanjak, atau masih tertatih. Kalau menanjak mudah mudah-mudahan lebih baik, dan di 2021 bisa lepas landas. Tapi kalau enggak, 2021 kan sudah enggak ada lagi uang stimulus udah habis memang akan ada kemungkinan lama masuk ke tahap pemulihan," ucap Yose.
Lihat juga:Penyebab RI Bisa Masuk Jurang Resesi Ekonomi |
Di sisi lain, investasi yang jadi salah satu komponen penting pertumbuhan ekonomi juga diprediksi masih sulit untuk tumbuh karena mandeknya program reformasi struktural pemerintah Jokowi. Ia mencontohkan, misalnya, terhambatnya pembahasan RUU Cipta Kerja akibat banyaknya tekanan.
Masalah lainnya adalah melambatnya pembangunan infrastruktur yang sejak awal diharapkan dapat menopang industri dan menggaet investor untuk masuk ke Indonesia. Imbasnya pembukaan lapangan kerja di Indonesia akan makin minim dalam jangka waktu yang cukup lama.
"Kalau seperti ini, sulit buat pemerintah mendorong ekonomi buat pulih dan tumbuh lebih tinggi di tahun 2021. Kuncinya sebetulnya pada apa yang sudah disampaikan Presiden soal reformasi struktural itu. Tapi sekarang ini kan terhambat semua," tandas Yose.
(hrf/agt)