Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi meminta Kementerian Keuangan agar memberikan subsidi rapid test kepada masyarakat yang hendak melakukan perjalanan. Usulan ini sebagai upaya Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dalam menyelesaikan polemik kewajiban rapid test atau tes PCR untuk melakukan perjalanan ke luar kota.
"Kami sedang minta Kementerian Keuangan agar rapid test ini diberikan subsidi kepada mereka-mereka yang akan melakukan perjalanan," ungkap Budi, Rabu (1/7).
Ia sadar kewajiban rapid test bagi setiap calon penumpang yang hendak menggunakan moda transportasi udara, laut, hingga darat menuai pro dan kontra. Harga untuk melakukan tes tersebut berbeda-beda di setiap daerah atau penyelenggara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Rapid ini memang menjadi suatu permasalahan. Hampir setiap anggota (Dewan Perwakilan Rakyat/DPR) menyampaikan," ucap Budi.
Oleh karena itu, Kementerian Perhubungan telah mengirimkan surat kepada seluruh operator transportasi umum untuk memilih sendiri mitra penyelenggara rapid test bagi calon penumpang. Dengan demikian, operator bisa menentukan harga yang terjangkau.
"Kemarin hari Jumat kami mengirimkan surat kepada semua operator agar bisa menetapkan sendiri mitra untuk membuat rapid test. Karena apa, dari kunjungan saya ke Solo dan Yogyakarta, rapid test itu Rp300 ribu sedangkan ada pihak yang bisa menyediakan dengan Rp100 ribu," jelas Budi.
Ia menyatakan kewajiban calon penumpang untuk melakukan rapid test atau tes PCR sebelum melakukan perjalanan adalah kewenangan dari Gugus Tugas Penanganan Covid-19. Budi mengaku sempat mempermasalahkan hal tersebut kepada tim gugus tugas.
"Tentang mengapa udara, kereta api, dan bus yang dikenakan (kewajiban rapid test atau tes PCR) itu memang kewenangan gugus tugas. Kami pernah mempermasalahkan kenapa seperti itu. Tapi kami dengan gugus tugas mempunya kerja sama yang baik," ungkap Budi.
Sebelumnya, tes kesehatan untuk calon penumpang ini sempat membuat masyarakat kebingungan. Masalahnya, aturan antar daerah tak sama.
Sebagian daerah ada yang mengikuti aturan gugus tugas, di mana mengizinkan calon penumpang untuk memilih antara tes PCR atau rapid test. Namun, sejumlah daerah justru mewajibkan calon penumpang melakukan tes PCR yang tarifnya terbilang mahal.
Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk pun sempat mengeluhkan kewajiban tes PCR itu akan mempengaruhi minat masyarakat untuk melakukan perjalanan. Ia bilang harga tes PCR rata-rata Rp2,5 juta, atau lebih mahal dari harga tiket pesawat.
Irfan menyebut proses yang mahal itu akan mempengaruhi keputusan seseorang untuk membeli tiket pesawat. Dengan kata lain, industri transportasi udara akan sulit bangkit di tengah pandemi virus corona.
"Tes PCR yang Rp2,5 juta dan beberapa sudah menurunkan harganya itu harganya lebih jauh mahal daripada (tiket) untuk bepergian," ucap Irfan.