PT Pertamina (Persero) memprediksi penggunaan bahan bakar fosil (fossil fuel) turun drastis pada 2030. Proyeksi tersebut lebih cepat dari perkiraan semula, yakni pada 2033, lantaran berbagai negara mulai menaruh perhatian pada keberlangsungan lingkungan.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengungkapkan, selain itu, pandemi covid-19 juga turut mempercepat pergeseran penggunaan bahan bakar energi dari fosil menjadi energi baru dan terbarukan (EBT)
"Kami melihat bahwa, yang tadinya melemahnya (konsumsi bahan bakar fosil) itu 2033, kami perkirakan itu akan terjadi di 2030 sehingga kami harus segera bergegas melakukan transisi energi untuk masuk ke energi baru," ujarnya dalam diskusi virtual, Senin (10/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nicke menuturkan salah satu tantangan yang dihadapi perseroan saat ini adalah mengubah gas menjadi Liquefied Natural Gas (LNG) yang lebih mudah dan efisien untuk didistribusikan jarak jauh.
Pasalnya, untuk mendorong porsi EBT, hal yang paling memungkinkan saat ini adalah mengubah pembangkit listrik berbahan bakar minyak menjadi berbahan bakar gas.
Perseroan sendiri telah melakukan kajian bagaimana minyak dan gas akan lambat laun akan meredup. Karena itu, meski kini sebagian besar produk perusahaan merupakan minyak, Pertamina mulai mengembangkan energi baru dan terbarukan.
"Walaupun dalam national energy policy kita akan dominan (minyak) tetapi porsi green energy yaitu gas dan juga EBT akan 50:50 dengan fosil fuel," imbuhnya.
Selain itu, perseroan juga merambah produk petrokimia yang permintaannya diprediksi kian meningkat.
Nicke menjelaskan pihaknya sudah bekerja sama dengan salah satu industri farmasi untuk membangun pabrik obat yang produksi bahan bakunya terintegrasi dengan kilang petrokimia di Cilacap.
"Petrokimia ini produk yang banyak sekali dan digunakan dalam keseharian umat manusia. Karena itu, Pertamina kemudian melakukan shifting, bukan hanya ke minyak, tetapi ke depannya akan mengintegrasikannya ke petrokimia karena pasarnya sangat besar," tandas Nicke.