Besarnya alokasi anggaran penanganan pandemi virus corona ini juga berpotensi menjadi tempat bagi beberapa pihak dalam mencari tambahan cuan di tengah pandemi.
Makanya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan pemerintah telah menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, dan Kejaksaan Agung untuk mengawasi penggunaan dana penanganan pandemi virus corona.
Ia berharap pengawalan dari berbagai institusi itu bisa menjamin penggunaan dana tersebut bebas dari korupsi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dalam pencegahan korupsi dalam pelaksanaan PEN tentu melakukan koordinasi secara baik dengan KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung," ujar Airlangga.
Selain upaya itu, pemerintah juga meningkatkan pengawasan baik dari internal maupun eksternal.
Dari sisi internal, pemerintah menitikberatkan pengawasan melalui inspektorat jenderal (irjen) di kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah.
Sementara, dari sisi eksternal, pemerintah berkoordinasi dengan BPK. Auditor eksternal ini bertugas untuk memastikan kewajaran dan kepatuhan terhadap ketentuan perundangan usai audit.
Fithra berpendapat potensi korupsi ini rentan terjadi khususnya pada penyaluran bansos. Hal itu berpeluang terjadi di pemerintah pusat maupun daerah.
"Celah (korupsi) pasti ada. Makanya keberadaan gugus tugas untuk menangani corona ini harus bisa membuat penyelewengan menjadi rendah," ucap Fithra.
Menurut dia, langkah pemerintah dalam melibatkan institusi seperti Kepolisian dan KPK sudah tepat. Selain untuk mengawasi, keterlibatan lembaga tersebut juga untuk mengurasi rasa khawatir dan ketakutan sejumlah pihak dalam mencairkan anggaran bansos.
"Untuk korupsi potensinya dibuat nol susah, tapi dibuat minimal. Makanya libatkan stakeholder seperti BPK dan KPK. Ini juga lembaga-lembaga tidak khawatir mencairkan dana bansos," jelas Fithra.
Fithra menyatakan potensi salah sasaran dalam menyalurkan bansos pasti akan terjadi. Namun, bukan berarti pemerintah harus diam dan menunggu sampai seluruh data orang miskin diperbarui.
Jika pemerintah menahan penyaluran, maka akan lebih berbahaya dampaknya bagi perekonomian. Untuk itu, Fithra menyarankan agar pemerintah tetap mempercepat penyaluran sembari memperbaiki data yang ada.
"Yang penting cair dulu agar ada belanja di masyarakat. Bocor pasti ada, tapi pemerintah dengan lembaga-lembaga seperti KPK dan BPK bisa mengawal untuk meminimalisir kebocoran penyaluran bansos. Tapi bansos tetap harus jalan," ucapnya.
Hal yang sama diungkapkan oleh Bhima. Peluang korupsi akan tetap terbuka dalam penyaluran bansos meski situasi sedang krisis seperti sekarang.
Oleh karena itu, ia mengatakan pemerintah perlu kerja sama lebih ketat dengan BPK dan KPK sejak pengumpulan data orang miskin atau target penerima bansos. Jadi, kedua lembaga itu dilibatkan sejak awal, bukan hanya saat penyaluran saja.
"Jadi bisa mantau juga data yang dikumpulkan tepat tidak, penyaluran juga tepat sasaran tidak," pungkas Bhima.
Secara keseluruhan, anggaran penanganan pandemi corona dialokasikan untuk berbagai sektor.
Rincian dana itu di antaranya adalah untuk bansos sebesar Rp203,9 triliun, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) sebesar Rp123,46 triliun, insentif usaha Rp120,61 triliun, kementerian/lembaga atau pemerintah daerah Rp106,11 triliun, hingga kesehatan Rp87,55 triliun.
Hanya saja, realisasinya belum mencapai 50 persen. Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan penyerapan dana penanganan pandemi virus corona baru sebesar 21,75 persen atau sebesar Rp151,25 triliun per 7 Agustus 2020.
Detailnya, anggaran untuk kesehatan baru terserap Rp7,1 triliun, bansos Rp86,5 triliun, sektoral k/l dan pemerintah daerah Rp8,6 triliun, dukungan untuk UMKM Rp32,5 triliun, pembiayaan korporasi masih nol rupiah, dan insentif usaha Rp16,6 triliun.
(sfr)