Bank Indonesia (BI) mengungkap beberapa alasan yang membuat nilai tukar rupiah sempat jatuh ke kisaran Rp14.800 per dolar AS pada beberapa waktu terakhir. Menurut BI, pengaruh pelemahan rupiah lebih banyak berasal dari faktor teknikal.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan faktor teknikal terjadi karena mata uang Garuda merespons berbagai pemberitaan akhir-akhir ini. Utamanya soal kelanjutan hubungan dagang antara Amerika Serikat dan China, prospek pemulihan ekonomi Negeri Paman Sam, perkembangan ekonomi di dalam negeri, hingga premi risiko di pasar keuangan.
"Kami meyakini pergerakan nilai tukar yang akhir-akhir ini lebih didorong oleh faktor teknikal, jangka pendek, oleh news, bukan oleh fundamental," ungkap Perry saat konferensi pers virtual, Rabu (19/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pergerakan nilai tukar rupiah sendiri sempat menembus kisaran Rp14.800 per dolar AS pada Selasa (18/8) kemarin. Berdasarkan data bank sentral nasional, depresiasi rupiah mencapai 1,65 persen secara point-to-point (p-to-p) atau 1,04 persen secara rerata per 18 Agustus 2020 dibandingkan level akhir pada bulan lalu.
Secara keseluruhan tahun berjalan, kurs rupiah terdepresiasi mencapai 6,48 persen dibanding akhir 2019. Hal ini membuat kurs rupiah masih di bawah nilai fundamental (undervalue).
"Nilai tukar rupiah itu secara fundamental masih undervalue dan akan berpotensi menguat ke depan sesuai fundamentalnya," ujarnya.
Kendati begitu, Perry melihat prospek nilai tukar rupiah ke depan masih bisa menguat. Hal ini didukung oleh beberapa faktor fundamental.
Pertama, inflasi tahun berjalan sebesar 0,98 persen dan inflasi tahunan 1,54 persen pada Juli 2020. Sementara secara bulanan, Indeks Harga Konsumen (IHK) mengalami deflasi 0,1 persen pada bulan lalu.
Menurut BI, inflasi akan berada di batas bawah target tahun ini sebesar 2 persen sampai 4 persen. Artinya, inflasi bisa hanya sekitar 2 persen sampai akhir tahun.
"Kalau inflasi rendah secara fundamental nilai tukar akan menguat," terangnya.
Kedua, Defisit Transaksi Berjalan (Current Account Deficit/CAD) sebesar US$2,9 miliar atau 1,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir Juni 2020. Bank sentral memperkirakan defisit transaksi berjalan hanya akan berada di bawah 1,5 persen dari PDB pada akhir 2020, sehingga mendorong penguatan rupiah.
Ketiga, perbedaan tingkat suku bunga acuan antara bank sentral nasional dengan negara lain. Per Agustus ini, BI tetap mempertahankan tingkat suku bunga acuan (7 Days Reverse Repo Rate/7DRR) di posisi 4 persen.
Hal ini, sambungnya, memberi jarak yang cukup besar antara tingkat suku bunga acuan di Indonesia dengan negara lain yang mayoritas lebih rendah dari 4 persen. Faktor ini bisa mendorong minat investor asing untuk mengalirkan modalnya ke portofolio keuangan di Indonesia, khususnya Surat Berharga Negara (SBN).
Bila asing kian tertarik memberi SBN, maka aliran modal asing akan masuk (capital inflow) ke dalam negeri, sehingga turut menambah daya penguatan rupiah.
"Dengan besarnya aliran modal asing, dengan lebih besarnya ekspor dari impor, supply dari devisa di pasar valas itu akan lebih besar dan nilai tukar akan menguat," jelasnya.
Pada tahun ini, BI mengasumsikan rupiah berada di kisaran Rp14 ribu sampai Rp14.600 per dolar AS sampai akhir 2020. Sedangkan tahun depan, proyeksinya di kisaran Rp13.700 sampai Rp14.300 per dolar AS.