Di era pandemi covid-19, resesi ekonomi seolah-olah menjadi normal baru. Sebagian besar negara-negara dunia mengisi daftar negara yang terperosok dalam jurang resesi. Sebut saja, Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Singapura, Thailand, hingga Korea Selatan.
Indonesia, tak ketinggalan, dipastikan akan bernasib sama dengan deretan negara tersebut. Sinyal resesi ekonomi telah disampaikan oleh pemerintah dalam berbagai kesempatan.
Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani sendiri memastikan ekonomi Indonesia akan mengalami resesi pada kuartal III 2020. Buktinya, ia merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini dari minus 0,2 persen-1,1 persen jadi lebih dalam, yakni minus 0,6 persen hingga 1,7 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat juga:Sri Mulyani Pastikan Resesi Melanda RI |
"Ini artinya, negatif pertumbuhan ekonomi kemungkinan terjadi pada kuartal III dan berlangsung pada kuartal IV, yang kita masih upayakan mendekati nol," ujar Ani, sapaan akrabnya, dalam paparan APBN Kita, Selasa (22/9).
Suatu negara disebut mengalami resesi ekonomi jika pertumbuhan ekonominya tercatat negatif dalam dua kuartal berturut-turut. Pada kuartal II 2020 lalu, pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah tercatat minus 5,32 persen.
Meskipun resesi ekonomi tidak bisa dihindari, bukan berarti Indonesia harus pasrah atas kondisi tersebut. Berbagai upaya tetap harus dilakukan secara bersama, tak hanya pemerintah tetap juga kalangan dunia usaha dan masyarakat agar Indonesia tak berlama-lama terjebak resesi ekonomi.
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad menuturkan dari sisi pemerintah memperluas sejumlah insentif yang saat ini telah berjalan. Misalnya, potongan pajak diperluas dari sekarang kepada 18 sektor menjadi kepada seluruh sektor. Toh, hampir semua sektor usaha terkena hantaman covid-19.
Lihat juga:Lima Hal yang Terjadi saat Resesi Ekonomi |
"Sehingga bisa meringankan pelaku-pelaku ekonomi agar tidak semakin memburuk kondisinya, dan jangan sampai mereka melakukan PHK yang berlebihan. Nah, ini bahaya," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (23/9).
Menurut dia, pemberian keringanan pajak dapat membantu dunia usaha untuk bertahan serta tidak melakukan PHK massal. Sebab, jika dunia usaha semakin terbebani di tengah resesi lantas melakukan PHK, maka kondisi tersebut justru membuat Indonesia sulit lepas dari resesi ekonomi.
Sayangnya, berbanding terbalik dengan usulan Tauhid, pemerintah malah berencana tak lagi menanggung pajak penghasilan Pasal 21 (PPh 21) atau pajak gaji karyawan pada 2021 mendatang.
Ini artinya, gaji masyarakat akan kembali dipotong untuk membayar PPh Pasal 21. Selain PPh Pasal 21, pemerintah juga akan menghapus insentif PPh Pasal 25 dan Pasal 22 pada tahun depan.
Selain perluasan basis sektor penerimaan pelonggaran pajak, pemerintah juga perlu menambah golongan penerima bansos tunai (BLT). Saat ini, BLT diberikan kepada golongan kurang mampu dan pekerja bergaji di bawah Rp5 juta yang merupakan peserta BPJS Ketenagakerjaan melalui program Bantuan Subsidi Upah (BSU)
"Bantuan sosial seperti ini penting, terutama bagi kelompok pekerja yang katakanlah di bawah UMR atau UMP, bahkan pekerja-pekerja yang terdaftar di perusahaan tapi tidak mendapatkan BPJS Ketenagakerjaan. Nah, mereka harus disubsidi," ucapnya.
Yang tak kalah pentingnya, yakni mendorong percepatan realisasi belanja anggaran pemerintah dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Tauhid menyebut dua jenis anggaran itu harus diakselerasi pada kuartal IV 2020 sehingga bisa mendorong ekonomi yang mengalami kontraksi pada dua kuartal sebelumnya.
Realisasi PEN sendiri terbilang masih rendah, yakni Rp254,4 triliun atau baru 36,6 persen dari pagu anggaran Rp695,2 triliun per 17 September. Diharapkan, dana tersebut segera disalurkan sepenuhnya hingga penghujung 2020, sehingga dapat memberikan daya ungkit kepada perekonomian saat resesi ekonomi.
"Sehingga ada permodalan yang cukup, investasi yang cukup, ada ketahanan sosial yang cukup di tengah-tengah masyarakat dengan semua program tersebut di tengah pandemi," katanya.
Dari sisi pelaku usaha, Tauhid menyarankan agar melakukan sejumlah efisiensi agar bisa bertahan di tengah resesi ekonomi. Namun, ia meminta perusahaan sedapat mungkin menghindari PHK, yaitu dengan cara potongan gaji.
"Tapi tidak diberhentikan atau tidak di-PHK. Kalaupun di-PHK, terpaksa, yang katakanlah memang kontraknya sudah habis ini. Kemungkinan itu yang bisa dilakukan pengusaha," ucapnya.
Cara lainnya agar perusahaan bisa bangkit, yakni melakukan restrukturisasi pinjaman, agar bisa meringankan perusahaan dan tidak kolaps saat resesi ekonomi. Perusahaan juga bisa mengubah cara kerja, sistem penjualan, hingga lini bisnis agar perusahaan masih bisa jalan.
"Karena kalau tutup, yang terdampak bukan hanya seluruh pekerja, tapi pengusaha juga akan memiliki kerugian, asetnya bisa dijual, dan sebagainya. Semoga, jangan sampai seperti itu," imbuh dia.
Pun demikian, dari semua langkah tersebut yang paling utama adalah menekan penyebaran virus corona. Pasalnya, tren kasus tambahan covid-19 masih terus meningkat dan belum ada tanda-tanda melandai.
Per 22 September, jumlah kumulatif kasus positif virus corona menjadi 252.923 orang, atau bertambah 4.071 dari sehari sebelumnya.
Dalam hal ini, peranan masyarakat sangat penting, yakni melalui disiplin protokol kesehatan. Jika penyebaran covid-19 bisa ditekan, maka memberikan kepastian bagi dunia usaha dalam berproduksi. Masyarakat juga semakin yakin untuk melakukan konsumsi, serta pelaku pasar tidak lagi menunda investasinya.
![]() |
"Karena kalau situasi dalam ketidakpastian pandemi, siapa pun akan menghadapi kendala untuk melakukan aktivitas ekonomi. Pabrik agak susah untuk berproduksi normal, mal tidak mungkin banyak pengunjung, contohnya seperti itu" tuturnya.
Sepakat, Ekonom Core Indonesia Akhmad Akbar Susamto juga menuturkan bahwa kunci utama lepas dari resesi ekonomi adalah pengendalian virus corona. Sebab, sumber resesi adalah pandemi itu sendiri, yang kemudian dampaknya menjalar pada perekonomian.
"Kalau ingin segera keluar dari resesi, pemerintah harus lebih serius mengatasi penyebaran covid-19. Tanpa serius mengatasi penyakit ini, resesi akan semakin panjang dan upaya pemulihan akan sulit," jelasnya.
Menurut dia, ada tiga tahapan kondisi perekonomian di tengah pandemi ini. Pertama, survival seperti yang terjadi saat ini, dimana semua pihak harus bertahan dari efek pandemi.
Kedua, tahapan recovery atau pemulihan, yang dimulai ketika pandemi bisa terkendali. "Jadi, selama covid-19 belum terkendali, kita tidak bisa bicara recovery. Selama pandemi menyebar terus kita baru bisa bicara tentang survival," terang dia.
Lamanya masa recovery ini, sambung dia, bergantung pada tingkat keparahan pada masa survival. Kalau banyak perusahaan kolaps dan masyarakat jatuh miskin, maka proses recovery juga makin panjang.
"Lamanya bisa setahun, dua tahun, tiga tahun bergantung pada tingkat keparahan kondisinya," ucapnya.
Tahap ketiga, yakni regrowth atau perekonomian mulai kembali pada situasi normal. Fase ini hanya bisa terjadi jika pandemi sudah selesai dan pelaku usaha maupun masyarakat sudah kembali beraktivitas dengan normal.
Ia mengaku tidak merekomendasikan program ekonomi baru untuk suplai tenaga pada perekonomian saat resesi ekonomi. Tetapi, ia mendorong pemerintah untuk mengimplementasikan dengan serius seluruh program-program yang sudah dicanangkan.
"Kalau program-program yang sudah dicanangkan itu sudah diimplementasikan dengan serius, nanti kita dapat berbicara tentang program lain," ujarnya.
Langkah serius yang dimaksudnya adalah mengurai semua kendala penyaluran, bila perlu pemerintah proaktif dengan melakukan jemput bola kepada penerima manfaat. Contohnya, bantuan kepada pelaku UMKM.
Per 17 September, realisasi bantuan kepada pelaku UMKM terdampak pandemi baru senilai Rp58,74 triliun, atau 47,57 persen dari pagu anggaran Rp123,47 triliun. Akhmad menduga kendala dalam penyalurannya adalah simpang siur data.
Lihat juga:Nasib RI di Tengah Resesi Negara Tetangga |
Ia menilai pemerintah tidak memiliki data lengkap calon penerima, namun tidak melakukan jemput bola menggandeng pelaku UMKM langsung.
Sebaliknya, sebagian pelaku UMKM masih bersifat skeptis dengan menilai proses dan persyaratan pencairan bantuan tersebut sulit.
"Jika tidak ada perubahan luar biasa dalam implementasinya, sulit untuk mencapai realisasi 100 persen. Konsekuensinya, manfaat program-program PEN tidak akan maksimal menyelamatkan perekonomian," tandasnya.
(bir)