Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu mengklaim pemerintah sudah melakukan mitigasi proyeksi Bank Dunia soal risiko peningkatan angka kemiskinan ekstrem akibat pandemi virus corona atau covid-19.
Mitigasi dilakukan dengan memberi bansos sebagai Jaring Pengaman Sosial (JPS) kepada 40 persen masyarakat berpendapatan rendah.
Dalam laporan terbarunya soal indikator kesejahteraan, Bank Dunia memproyeksi angka kemiskinan ekstrem kembali meningkat untuk pertama kalinya sejak 2006. Kemiskinan ekstrem meningkat dari 2,7 persen di 2019 menjadi 3,0 persen di 2020.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi ini mengacu pada garis kemiskinan US$1,9 per kapita per hari yang berlaku sejak 2011. Sedangkan, ambang batas tingkat kemiskinan US$3,2 dan tingkat kemiskinan US$5,5 tidak digunakan oleh BPS untuk mengukur kemiskinan karena pendekatan yang dipakai oleh BPS adalah kemampuan penduduk dalam pemenuhan kebutuhan dasar.
Namun secara keseluruhan, Bank Dunia memperkirakan angka kemiskinan akan tetap meningkat. Karenanya, Bank Dunia menekankan pentingnya upaya mitigasi oleh pemerintah mengatasi lonjakan angka kemiskinan tersebut.
Terkait hal ini, Febrio menyatakan pemerintah sudah menyediakan JPS melalui berbagai macam program bansos. Mulai dari Program Keluarga Harapan (PKH), BLT subsidi upah, Bansos Sembako, hingga BLT Dana Desa yang masuk di program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
"Sebagai respons pemerintah, mayoritas masyarakat kelompok 40 persen pendapatan terendah telah mendapat dukungan pemerintah lewat PEN, baik dalam bentuk JPS, bantuan/pembiayaan usaha, maupun subsidi listrik," kata Febrio dalam keterangan resmi, Selasa (29/9).
Secara total, dana PEN untuk perlindungan sosial mencapai Rp203,9 triliun atau sekitar 0,9 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Bantuan diklaim tidak hanya menyasar masyarakat 40 persen terbawah, tapi juga kelas menengah yang terdampak melalui berbagai program, seperti program Kartu Prakerja dan Padat Karya Tunai.
Febrio pun mengamini survei Bank Dunia yang menunjukkan bahwa 90 persen dari masyarakat 40 persen terbawah telah mendapatkan setidaknya satu jenis bantuan. Namun, hasil survei dan masukan dari Bank Dunia akan tetap dijadikan evaluasi untuk implementasi kebijakan ke depan.
Sementara, terkait proyeksi terbaru mengenai pertumbuhan ekonomi Indonesia yang direvisi dari nol persen menjadi minus 1,6 persen sampai minus 2 persen, Febrio menilai ramalan tersebut masih berada di rentang estimasi pemerintah.
Hal ini juga serupa dengan ramalan dari lembaga ekonomi dan keuangan internasional lain, yakni Bank Pembangunan Asia (ADB) sebesar minus 1 persen, dan Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) sebesar minus 3,3 persen.
"Secara umum, outlook Bank Dunia ini masih sejalan dengan asesmen pemerintah terkini yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada dalam rentang minus 1,7 persen dan minus 0,6 persen," katanya.
Untuk tahun berikutnya, Bank Dunia memperkirakan ekonomi Indonesia berada di kisaran 3 persen sampai 4,4 persen pada 2021 dan 5,1 persen pada 2022.