Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendesak pemerintah agar memperbesar persentase peringatan kesehatan bergambar (Pictorial Health Warning/PHW) di bungkus rokok. YLKI juga meminta pemerintah melarang iklan rokok di berbagai ruang publik, mulai dari media online hingga offline seperti baliho.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan kedua hal ini perlu dilakukan untuk mengurangi jumlah perokok dan dampaknya bagi masyarakat luas. Saat ini, PHW yang berlaku hanya 40 persen dari bungkus rokok.
"Di internasional, rata-rata PHW sudah sampai 90 persen dari bungkus rokok, tapi Indonesia belum. Ini penting untuk segera ditingkatkan sebagai upaya pengendalian," ucap Tulus saat diskusi virtual yang digelar bersama Kemenkes, Rabu (30/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Persentase PHW di Indonesia pun terbilang tertinggal dari para negara tetangga. Tulus mencatat PHW di Malaysia sudah 55 persen dari bungkus rokok.
Sementara Singapura mencapai 75 persen dari bungkus rokok. "Timor Leste bahkan 92 persen, jadi Indonesia tertinggal," tuturnya.
Bahkan, Tulus menyayangkan kondisi PHW yang cuma 40 persen masih saja harus ditutup oleh pita cukai rokok dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan. Akibatnya, ruang peringatan bahaya rokok bergambar semakin sempit.
"Ini pun sering tertutup pita cukai, jadi menutup peringatan kesehatan itu sendiri," katanya.
Tak hanya soal persentase PHW, Tulus juga mendesak pemerintah agar segera melarang iklan rokok di ruang publik. Saat ini, iklan rokok sangat mudah ditemukan di media massa hingga baliho pinggir jalan.
"Pelarangan iklan rokok secara total sangat mendesak karena Indonesia salah satu atau satu-satunya negara di dunia yang masih melekatkan iklan rokok di semua lini massa," ujarnya.
Tak ketinggalan, Tulus juga meminta pemerintah segera mengatur soal rokok elektronik yang tengah digandrungi anak-anak muda. Sebab, kehadiran rokok elektronik terbukti meningkatkan prevelensi merokok di Indonesia.
"Data terakhir menunjukkan peningkatan 10 persen, jadi ini perlu diatur dalam pp atau apa, yang penting mesti ada regulasinya soal rokok elektronik," jelasnya.
Semua hal ini, kata Tulus, perlu dituangkan pemerintah dalam rancangan peraturan pemerintah (rpp) pengganti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Apalagi, aturan itu sudah delapan tahun tidak diutak-atik sesuai dinamika yang berkembang di masyarakat.
Di sisi lain, ia meminta pemerintah di Kementerian Keuangan terus menyederhanakan atau simplifikasi layer rokok dari 10 menjadi tinggal tiga atau empat saja. Hal ini diperkirakan bisa efektif mengurangi penjualan dan konsumsi rokok di masyarakat.