Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menyebut salah satu alasan penyaluran kredit masih mandek hingga saat ini karena sikap berhati-hati (wait and see) swasta dalam mengukur risiko ke depan dari pandemi covid-19.
Wimboh menyebut pertumbuhan kredit perbankan pada Agustus lalu masih minim meski berbagai upaya mendorong telah dilakukan. Secara tahunan atau year-on-year (yoy), pertumbuhan Agustus tercatat hanya 1,04 persen, bahkan minus 1,69 persen secara tahun berjalan (year-to-date/ytd).
Ia menilai hal ini sejalan dengan lemahnya daya beli masyarakat. Hingga kini kredit KPR, ruko, perabotan, dan elektronik disebutnya masih terus mengalami penurunan pertumbuhan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Aktivitas masyarakat dan dunia usaha sangat turun yang menyebabkan pertumbuhan kredit kontraksi sangat besar," katanya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Kamis (1/10).
Lebih lanjut, berdasarkan jenis penggunaannya, untuk kredit modal kerja (KMK) hingga Agustus dinyatakan masih terkontraksi 0,95 persen secara yoy atau minus 2,86 persen secara ytd.
Sedangkan, untuk kredit segmen UMKM, karena kontraksi dalam pada Maret-Juni lalu, hingga Agustus kontraksi dinyatakan sebesar minus 2,35 persen.
Lalu, untuk segmen korporasi, OJK mencatat dari kelompok 100 debitur besar, 74 di antaranya mengalami penurunan baki debet dengan total Rp61,2 triliun dengan rata-rata penurunan sebesar 12,9 persen.
Wimboh menjabarkan lima perusahaan besar yang mengalami penurunan baki debet yakni PLN sebesar Rp7,2 triliun, Gudang Garam Rp5,3 triliun, dan diikuti oleh Wilmar Nabati sebesar Rp4,9 triliun.
"Selain itu, Petro Kimia sebesar Rp4,9 triliun dan Indofood Sukses Makmur Rp4,4 triliun," imbuh dia.