Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia menuding Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Ciptaker) yang disahkan pemerintah dan DPR Senin (5/10) kemarin memberi restu bagi pengusaha untuk mangkir dari kewajiban membayar pesangon kepada pekerja atau buruh.
Kalau dibiarkan aturan ini bisa menurunkan kesejahteraan pekerja.
"Otomatis bukan peluang lagi, pengusaha justru diberikan kekuatan hukum secara undang-undang. Artinya, pengusaha sudah dengan gampang dia bisa menghilangkan (pesangon), kemungkinan celah potensi itu ada dan bisa dilakukan oleh pengusaha," ujar Presiden Aspek Indonesia Mirah Sumirat kepada CNNIndonesia.com, Selasa (6/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mirah mencatat ada lima ketentuan di RUU Ciptaker yang menghapus pasal pemberian pesangon yang sebelumnya ada di UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pertama, pasal 51 RUU Ciptaker. Pasal itu menghapus ketentuan Pasal 162 UU Ketenagakerjaan mengenai penggantian uang pesangon bagi pekerja yang mengundurkan diri.
Dalam pasal 162 ayat 1 UU Ketenagakerjaan disebutkan pekerja atau buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri berhak memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat 4 UU Ketenagakerjaan.
Syaratnya, pekerja mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis 30 hari sebelum keluar dari jabatan dan pekerja sedang tidak terikat dalam ikatan dinas dan tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
Kedua, Pasal 52 RUU Ciptaker. Ketentuan itu itu menghapus Pasal 163 di UU Ketenagakerjaan yang mengatur pemberian uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak apabila terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan.
Dalam Pasal 163 ayat 1 disebutkan jika pekerja atau buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja usai aksi korporasi tersebut, maka mereka berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, serta uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam pasal 156 ayat 4 UU Ketenagakerjaan.
Begitu pula, jika pengusaha tidak bersedia menerima pekerja atau buruh di perusahaannya usai aksi korporasi itu, maka pekerja atau buruh tetap berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak.
Ketiga, Pasal 53 RUU Ciptaker. Itu menghapus Pasal 164 UU Ketenagakerjaan mengenai pemberian uang pesangon apabila perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama dua tahun atau keadaan memaksa (force majeur).
Pada aturan lama, PHK dapat dilakukan hanya karena perusahaan tutup dan pekerja berhak atas pesangon.
Hal serupa juga berlaku apabila perusahaan melakukan PHK karena perusahaan melakukan efisiensi, bukan karena mengalami kerugian dua tahun berturut-turut atau force majeur. Atas kondisi itu, pekerja atau buruh berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak.
Keempat, Pasal 54 RUU Ciptaker menghapus Pasal 165 UU Ketenagakerjaan mengenai pemberian uang pesangon jika perusahaan pailit. Menurut aturan sebelumnya, PHK bisa dilakukan jika perusahaan pailit tapi harus tetap memberi pesangon.
Kelima, pasal 55 UU Ciptaker menghapus pasal 166 UU Ketenagakerjaan mengenai pemberian pesangon bila buruh meninggal dunia. Pesangon seharusnya tetap diberikan kepada ahli waris berhak mendapatkan sejumlah uang yang terdiri dari uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak.
Kendati begitu, belum ada tanggapan dari Sekretaris Kemenko Bidang Perekonomian Susiwijono dan Staf Bidang Hubungan Ekonomi Politik Hukum dan Keamanan Kemenko Bidang Perekonomian Ellen Setiadi mengenai tudingan dari pihak buruh tersebut hingga berita ini diturunkan.
(uli/agt)