PT Pertamina (Persero) mengungkap alasan tidak menutup operasi kilang di tengah pandemi virus corona atau covid-19. Padahal, secara bisnis, raksasa migas itu seharusnya bisa mengejar cuan yang lebih menguntungkan dengan menghentikan kilang dan menutup kebutuhan BBM dari impor yang harganya anjlok.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan secara perhitungan bisnis tentu langkah menghentikan operasional kilang dan membuka keran impor minyak yang lebih besar sangat menguntungkan perusahaan. Bahkan, perusahaan berpeluang menjual BBM dengan harga yang lebih murah sejalan dengan penurunan harga minyak di pasar internasional.
Penurunan harga sendiri utamanya terjadi karena pasokan minyak dunia menumpuk. Sementara, pandemi virus corona membuat aktivitas masyarakat terbatas sehingga menurunkan konsumsi BBM.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi Pertamina tidak mau ambil langkah itu karena kami tahu pekerja langsung yang terlibat dengan Pertamina ada banyak," kata Nicke dalam seminar yang diselenggarakan Lemhannas, Selasa (6/10).
Orang nomor wahid di raksasa migas pelat merah itu khawatir langkah itu justru akan membuat karyawan perusahaan tidak bekerja dan harus dirumahkan. Padahal, tekanan ekonomi corona sudah cukup menyulitkan keuangan pekerja.
"Jadi kami tetap operasikan seluruh aset yang ada, dari hulu, kilang, hilir, ritel, gas seluruhnya kami tetap operasikan, karena kalau kami tutup (kilang) ini dan impor, maka akan terjadi pengangguran," jelasnya.
Nicke mengklaim kebijakan ini tidak hanya mempertimbangkan peran Pertamina terhadap karyawannya saja namun juga keluarga karyawan. Lebih jauh, hal ini mempertimbangkan dampak ke pertumbuhan ekonomi nasional ke depan.
"Sebagai BUMN, komitmen Pertamina sebagai driver pertumbuhan ekonomi nasional jelas, termasuk bina UMKM, kami tetap jalankan meski tertekan dampak covid," ucapnya.
Kendati begitu, Nicke memaparkan kondisi perusahaan juga tidak jauh dari tekanan. Sebab, penjualan ikut turun selama pandemi.
Terlebih, ada beban dari rendahnya harga minyak Indonesia (ICP) akibat penuurunan harga minyak dunia. Sementara, nilai tukar rupiah justru bengkak akibat ketidakpastian ekonomi.