Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) menghapus ketentuan lima hari kerja dalam sepekan yang diatur dalam pasal 79 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Penghapusan tertuang dalam Pasal 81 Omnibus Law UU Cipta Kerja. Di bagian tersebut, hanya tercantum aturan enam hari kerja dalam sepekan bagi para pekerja.
"Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi:
a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus-menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu," bunyi pasal tersebut berdasarkan draf final RUU Cipta Kerja berjumlah 812 halaman yang diterima CNNIndonesia.com dari Baleg DPR RI.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam pasal 77 ayat (2) disebutkan jam kerja maksimal dalam sepekan adalah 40 jam. Aturan ini masih sama dengan yang tercantum dalam UU Ketenagakerjaan.
Ketua Umum Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) Jumisih mengatakan aturan baru soal hari kerja per pekan merugikan kaum buruh. Ia khawatir aturan ini dijadikan acuan bagi perusahaan untuk menambah beban kerja para karyawan.
Jumisih menyadari ada frase 'paling sedikit'. Namun, aturan itu tetap memberi celah bagi pemberi kerja untuk menambah hari kerja pekerja.
"Perusahaan kan mengacunya undang-undang. Kalau undang-undang mengatur enam hari kerja, ya akan seperti itu," ujar Jumisih kepada CNNIndonesia.com, Rabu (14/10).
Menurutnya, selama ini aturan yang ada sudah ideal. Lima hari kerja dan dua hari libur dalam sepekan sudah seimbang untuk waktu istirahat buruh.
"Kalau dikondisikan enam hari kerja, maka waktu istirahat dan bersama keluarga jadi berkurang. Ini yang kami sayangkan," ujarnya.