Ekonom INDEF Aviliani mengungkapkan bank-bank di kawasan Asia Pasifik berpotensi mengganti mekanisme pelayanan mereka dari manusia menjadi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) alias robot pada 2025.
Hal ini juga bisa berlaku bagi layanan perbankan di Indonesia. Aviliani mengatakan potensi ini muncul dari hasil survei bertajuk Fintech and Digital Banking 2025 Asia Pacific. Survei dilakukan oleh lembaga internasional yang tak disebutkan namanya belum lama ini.
"Hasilnya, sebesar 48 persen bank di Asia Pasifik diprediksi menggunakan teknologi AI atau machine learing untuk keputusan berbasis data pada 2025," ungkap Aviliani dalam diskusi virtual bertajuk Bank Tradisional vs Neo Bank, Selasa (17/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini membuat 63 persen nasabah bank di Asia Pasifik bisa mengadopsi layanan bank secara digital pada 2025. "Nasabah akan bersedia beralih ke neo bank (bank digital tanpa kantor cabang)," katanya.
Tak hanya itu, hasil survei juga menyatakan bahwa 44 persen dari total 250 bank teratas yang ada di Asia Pasifik bakal menyelesaikan transformasi connected core pada 2025. Transformasi ini berupa modernisasi berbasis platform dan komponen untuk layanan transaksi.
Mengingat potensi ini, maka bank akan mempersiapkan diri mulai tahun ini untuk menambah modal mereka dalam rangka menghadirkan transformasi dan inovasi tersebut.
Hal ini turut memungkinkan pertumbuhan investasi mencapai 25 persen pada sistem real time untuk pemasaran, pengendalian kecurangan (fraud), dan pembayaran di berbagai transaksi keuangan.
Khusus di Indonesia, hasil survei menunjukkan bahwa proses ini pun akan dialami oleh bank nasional. Survei memperkirakan sekitar 40 persen nasabah bank di Tanah Air sudah bisa mulai menikmati layanan pendaftaran akun bank secara langsung hanya melalui sistem tanpa perlu ke kantor cabang pada 2023.
"Bisa berupa verifikasi nasabah secara digital atau pendaftaran via layanan pihak ketiga," ucapnya.
Kendati begitu, Aviliani menggarisbawahi bahwa potensi ini bisa saja tak terwujud bila tidak ada penciptaan ekosistem digital mulai dari sekarang di dalam negeri.
Masalahnya, ekosistem itu perlu dibentuk dari hasil kerja sama banyak pihak, mulai dari pelaku hingga para regulator seperti Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Maka perlu ada regulasi-regulasi yang sekiranya bisa mempercepat kesiapan untuk proses digitalisasi bank atau yang dikenal lewat neo bank ini," pungkasnya.