Cacatnya pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi di DKI Jakarta menjadi sorotan akhir-akhir ini. Faktanya, masih didapati kerumunan massa berkumpul dengan mengacuhkan protokol kesehatan di tengah pandemi covid-19.
Baru-baru ini, sejumlah massa menyambut kepulangan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab. Bukan sambutan biasa, ratusan orang berkumpul menyambut kepulangannya di Bandara Internasional Soekarno Hatta (Soetta) hingga menimbulkan kemacetan panjang. Kumpulan massa juga berlanjut di Markas FPI Petamburan, Jakarta Pusat.
Tak berhenti di situ, para simpatisan Rizieq kembali datang berduyun-duyun pada acara Maulid Nabi Muhammad SAW yang digelar di Tebet, Jakarta Selatan. Mereka juga ramai mendatangi acara pernikahan putri petinggi FPI itu di Petamburan, Jakarta Pusat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengalahkan rasa takut pada covid-19, massa yang datang seolah abai dengan protokol kesehatan yang diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 51 tahun 2020 tentang PSBB Transisi.
Imbasnya, Rizieq mendapat sanksi administratif sebesar Rp50 juta yang disebut telah dibayar.
Kondisi tersebut menuai kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk pengusaha. Wajar saja, pengusaha merupakan salah satu pihak terdampak paling signifikan atas pelaksanaan PSBB yang membuat roda ekonomi mati suri.
Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran menilai ada ketimpangan dalam pemberlakuan PSBB transisi di DKI Jakarta. Alasannya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta seolah acuh dengan hadirnya kerumunan massa yang mengabaikan protokol covid-19 tersebut.
"Kemarin kami perhatikan sampai ada pergerakan massa seperti itu, kayaknya tidak ada pemerintah yang hadir di situ. Justru ini yang melukai kami di sektor usaha, di mana sektor usaha itu ada tenaga kerja yang kesulitan hidupnya karena mengikuti kebijakan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah," ujarnya kepada CNNIndonesia.com.
Sebaliknya, ia menyatakan pemerintah sangat tegas menindak pengusaha yang melanggar protokol covid-19. Mau tidak mau, pengusaha akhirnya mati-matian mematuhi protokol covid-19 selama masa PSBB.
Mayoritas pengusaha tetap menjalankan bisnisnya meskipun biaya operasional lebih besar dibandingkan pendapatannya akibat pembatasan kapasitas pengunjung dan jam buka. Belum lagi, mereka harus mengeluarkan dana investasi untuk penerapan protokol kesehatan.
Oleh sebab itu, ia menyayangkan sikap tidak adil pemerintah dalam menindak kerumunan massa penyambutan Rizieq dibandingkan dengan tindakan tegas pemerintah kepada pengusaha yang melanggar PSBB selama ini.
"Di lapangan bagaimana tiba-tiba restoran itu disegel, perlakuan dari aparat satpol PP-nya juga lebih garang lagi, kan kami perhatikan bagaimana tindakannya. Tapi bagaimana? Kok cuma mendenda Rp50 juta dengan (kerumunan) sekian ribu orang, sementara kami paling banyak 100 orang atau 20 orang pun langsung disegel," ucapnya.
Karenanya, ia menilai sebaiknya Pemprov DKI Jakarta menghapus kebijakan PSBB transisi lantaran dinilai tidak efektif. Ia mengusulkan agar operasional bisnis tetap berjalan normal seperti sebelum pandemi covid-19 dengan tetap menerapkan protokol kesehatan dengan ketat.
Toh, kata dia, jika pengusaha tidak memberlakukan protokol covid-19 maka pengusaha sendiri yang akan menanggung akibatnya yakni ditinggal oleh pelanggan. Pasalnya, konsumen kini sudah menyadari pentingnya penerapan protokol covid-19.
"Kalau menurut kami kebijakan tersebut mending tidak usah ada PSBB lagi, tapi tetap kami melakukan protokol kesehatan," ucapnya.
Selain tidak efektif, ia mengungkapkan implementasi PSBB sangat memukul dunia bisnis selama 8-9 bulan terakhir ini. Ia mencontohkan okupansi hotel paling rendah biasanya di kisaran 40 persen dan terjadi hanya dalam satu bulan dalam setahun.
Namun, pandemi covid-19 ini membuat okupansi hotel berada di bawah 40 persen selama 8-9 bulan. Belum lagi, banyak tenaga kerja sektor hotel dan restoran yang ikut kena imbas baik PHK maupun dirumahkan.
Ia menuturkan jumlahnya mencapai sekitar 300 ribu hingga 400 ribu orang dari sektor perhotelan. Sementara, dari bisnis restoran jumlahnya lebih banyak lagi di mana tenaga kerja yang terpaksa mengalami PHK maupun dirumahkan mencapai 1 juta orang.
"Artinya, kondisi kritis ini sudah kami hadapi selama 9 bulan yang memengaruhi daya tahan perusahaan. Selain perusahaan terkontraksi daya tahannya, juga mempengaruhi tenaga kerjanya, banyak tenaga kerja yang di sektor hotel dan restoran itu tidak bekerja lagi," ucapnya.
Senada, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan PSBB menimbulkan kerugian ekonomi. Ini tercermin dari kontraksi pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta pada kuartal II 2020 sebesar 8,22 persen secara tahunan (yoy) dan 11,38 persen secara kuartalan (qtq). Dengan kontraksi tersebut, ia menuturkan DKI Jakarta kehilangan potensi ekonomi hingga Rp55 triliun.
"Belum lagi setoran, pajak daerah untuk DKI Jakarta seperti jasa restoran, hotel, hingga jasa hiburan padahal sektor ini menyumbang sekitar 15 persen dari total penerimaan pajak daerah," katanya.
Saat ini, laju ekonomi ibu kota sudah mulai membaik menjadi minus 3,82 persen (yoy). Bahkan, lajunya sudah kembali positif secara kuartalan sebesar 8,38 persen. Namun, terlepas dari cacatnya pelaksanaan PSBB dan dampaknya pada perekonomian ibu kota, ia mengatakan aturan pembatasan sosial itu tetap dibutuhkan.
Pasalnya, angka penularan covid-19 di ibu kota masih tinggi. Menurutnya, jika PSBB ditiadakan risikonya adalah tren kasus covid-19 terus meningkat. Kondisi ini, kata Yusuf, justru membuat pemulihan ekonomi berlangsung lebih panjang serta ujungnya merugikan pengusaha.
"Misalnya, PSBB sudah dilonggarkan dan dihapuskan tidak ada PSBB, tapi ketika kasus covid-19 tinggi ini akan berakibat pemulihan ekonomi lebih lama dan berdampak buruk kepada pengusaha," katanya.
Melihat hal tersebut, ia menegaskan kunci pemulihan ekonomi adalah pengendalian penularan covid-19, salah satunya melalui PSBB. Menurutnya, kerumunan massa yang melanggar protokol covid-19 pada penyambutan Rizieq Shihab itu hendaknya menjadi pembelajaran baik bagi Pemprov DKI Jakarta maupun pemerintah pusat.
Ia menilai pemerintah hendaknya lebih tegas menindak oknum yang melanggar aturan PSBB sehingga tidak menimbulkan keberpihakan pada salah satu pihak.
"Ini menjadi pembelajaran, tidak hanya Pemprov DKI tapi juga pemerintah pusat untuk kembali meninjau pelaksanaan protokol kesehatan. Kalau konteks kemarin, akhirnya protokol kesehatan hanya dijalankan oleh beberapa pihak tapi pihak lain tidak disiplin, ini bertolak belakang dengan usaha menurunkan kasus covid-19," tuturnya.
Senada, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Puspa Ghani Talattov mengatakan PSBB efektif menurunkan kasus positif covid-19. Buktinya, setelah dilakukan PSBB jilid 2 dari 14 September hingga 11 Oktober terjadi penurunan rata-rata kasus covid-19 harian di DKI Jakarta.
Detailnya, sebanyak 1.135 pada September lalu berkurang menjadi 1.007 di Oktober, dan menjadi 795 pada November.
"PSBB ini masih relevan di Indonesia supaya ingatkan ke masyarakat karena pandemi ini belum berakhir, jadi masih perlu PSBB transisi dengan protokol covid-19," katanya.
Selain penindakan yang tegas, ia menilai pemerintah perlu memaksimalkan peran kanal pengaduan melalui teknologi informasi. Lalu, tentunya kesadaran dari seluruh lapisan masyarakat agar disiplin dalam menjalankan protokol covid-19.
"Bagaimana agar masyarakat bisa memberikan laporan real time secara online dan pihak berwenang akan melakukan penindakan serta pembubaran," ucapnya.