Ekonom Senior Faisal Basri menilai program biodiesel Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) tidak memiliki roadmap (peta jalan) yang jelas. Menurut dia, program itu memiliki lebih banyak mudarat daripada maslahat.
Disebut tidak jelas karena pemerintah mengabaikan tren konsumsi minyak nabati untuk biofuel yang menurun secara global. Jika konsumsi global turun, maka mau tidak mau pasar dalam negeri lah yang harus menyerap produksi biodiesel.
Sebagai salah satu negara yang memasok biodiesel terbesar, Faisal memprediksi akan banyak pabrik biodiesel yang menganggur di masa depan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika ingin meneruskan subsidi biodiesel, pemerintah juga harus menyiapkan dana bailout (talangan) agar produsen biodiesel dalam negeri dapat bertahan di masa depan.
"Saya katakan kalau tidak ada roadmap, porsi dari sawit yang harus dipasarkan di dalam negeri makin besar dan oleh karena itu subsidi makin besar," katanya dalam diskusi daring Greenpeace bertajuk 'Kebijakan Biodiesel Untuk Siapa?' pada Rabu (18/11).
Lalu, pengembangan biodiesel juga disebut Faisal menekan defisit transaksi berjalan (CAD). Berdasarkan perhitungan opportunity cost, ia bilang telah terjadi defisit perdagangan yang kian melebar setiap tahunnya.
Menurut dia, defisit untuk 2019 sebesar Rp85,2 triliun atau sekitar US$6,1 miliar, lebih besar dari 2018, yakni Rp72,1 triliun atawa US$5 miliar.
Opportunity cost yang dimaksudnya adalah pendapatan ekspor yang dikorbankan pemerintah dari konsumsi biofuel dan pemakaian biodiesel untuk kebutuhan domestik.
"Tidak ada yang namanya penghematan devisa di sana, justru penggerogotan devisa karena penghematan yang kita dapatkan dari tidak mengimpor solar jauh lebih kecil, karena tidak mengimpor solar kan hanya 30 persen kalau B30. Lalu, kehilangan kesempatan ekspor CPO," jelasnya.
Belum lagi, soal efektivitas kebijakan biodiesel yang sepenuhnya dipengaruhi oleh harga CPO dan minyak mentah dunia yang di luar kendali pemerintah.
Karena itu, Faisal mengaku heran pemerintah ngotot mendorong program B30 yang dia nilai tak menguntungkan pemerintah ataupun petani CPO.
Dia curiga kebijakan dibuat untuk memastikan keberlangsungan industri terkait yang pemainnya terbatas.
"Kebijakan ini jauh api dan panggang, bahkan semakin membuat perekonomian Indonesia dirugikan besar, yang diuntungkan hanya segelintir orang pemilik pabrik biodiesel," tutupnya.
Pada sidang tahunan MPR, Agustus lalu, Jokowi menyebut program biodiesel membuat pemerintah mampu menekan nilai impor minyak pada 2019 lalu.
PT Pertamina (Persero) pun membenarkan bahwa implementasi B20 dan B30 telah menghemat devisa negara sebesar Rp43,8 triliun pada 2019. Tahun ini, ditargetkan menghemat devisa hingga Rp63,4 triliun dari program B30.
Kondisi itu terkonfirmasi oleh data impor hasil minyak Badan Pusat Statistik (BPS). Tercatat, impor hasil minyak secara tahunan turun 11,73 persen menjadi 10,33 juta ton. Adapun nilai impor hasil minyak sepanjang semester I 2020 merosot 39,3 persen menjadi US$1,98 miliar.